Dr.  Firman Kurniawan S.

Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org, dan penulis buku Digital Dilemma

Membongkar Mitos yang Membalut Kebenaran dan Melenakan Perempuan

Dr. Firman Kurniawan S. Minggu, 15 Januari 2023
Perempuan tidak seproduktif laki-laki karena waktu dan perhatian terlalu terbagi antara keluarga dan pekerjaan adalah mitos.
Perempuan tidak seproduktif laki-laki karena waktu dan perhatian terlalu terbagi antara keluarga dan pekerjaan adalah mitos. Kubkoo

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Keduanya berpeluang memaksa penggunaan tubuh lebih tinggi dari kapasitasnya.

Kerentanan kesehatan tak serta merta urusan perempuan. Karenanya, tak ada alasan iklan kesehatan harus disasarkan pada perempuan.

Penjelasan jenis ini adalah mitos. Seluruhnya sesuai uraian Jessica Mellenthin, Susan Shapiro, dan tentu saja Roland Barthes: untuk mencapai tujuan tertentu

Uraian yang relevan menyangkut iklan yang banyak menyasar perempuan, relevan dengan ungkapan Tamar Freundlich.

Itu disampaikannya lewat artikel yang berjudul “Marketing to Women: What We Can Learn from The Past Century”.

Artikel ini terbit tahun 2020, dengan pernyataannya kurang lebih: Perempuan merupakan pendorong 70% - 80% dari semua pembelian.

Pembelian itu menyangkut produk yang digunakan perempuan sendiri.

Namun perempuan juga jadi pendorong bagi pembelian produk pria. Perempuan melayani anak-anak maupun orang tua, dan melakukan pembelian atas nama seluruh rumah tangga.

Pernyataan Freundlich itu juga benar dalam pengertian, perempuan adalah tokoh belanja.

Baca Juga: Berdasar Riset, Ini Alasan Perempuan Menyukai Belanja Online

Urusan belanja yang sifatnya domestik, ada di tangan perempuan. Maka bukan saja iklan produk kesehatan yang ditujukan pada perempuan. Untuk keperluan rumah tangga lainnya, iklan juga disasarkan pada perempuan.

Jika ditujukan pada laki-laki, akan salah sasaran. Ini karena laki-laki sedang terlibat pada urusan publik. Belanja bukan urusan publik.

Maka yang benar terjadi lewat iklan, pembagian peran domestik vs. publik antara laki-laki dengan perempuan. Seluruhnya kemudian dilanggengkan lewat iklan.

Mitos soal kerentanan kesehatan di atas, sekedar membalut kebenaran yang senyatanya: perempuan diletakkan untuk urusan domestik.

Mitos-mitos yang hadir hari ini banyak berjenis psikologis. Ini untuk mencapai tujuan komunikasi tertentu. Karenanya ditampilkan tanpa muatan kebenaran yang sejati.

Ada peristiwa gaji perempuan yang lebih rendah dari laki-laki. Padahal pekerjaannya sama. Ini dijelaskan sebagai: Kemampuan perempuan lebih rendah dari laki-laki.

Juga, keperluan hari libur perempuan lebih banyak dari laki-laki. Libur datang bulan, libur melahirkan, juga peluang permintaan libur menyelesaikan urusan domestik yang tak bisa ditolak oleh tempat bekerja.

Seluruh penjelasan mengesahkan tudingan bahwa produktivitas perempuan bakal lebih rendah dari laki-laki. Maka, sepantasnya jika gaji yang diterima lebih rendah.

Baca Juga: Benarkah Kesenjangan Upah Antara Perempuan dengan Laki-Laki Bisa Jadi Pemicu KDRT? Simak Fakta Berikut Ini

Sebagai bentuk tekanan psikologis, penjelasan ini kemudian sulit ditolak perempuan.

Namun kenyataannya, banyak perempuan punya kemampuan sama dengan laki-laki. Bahkan banyak yang lebih unggul.

Banyak juga yang tak membutuhkan jumlah hari libur lebih banyak, lantaran masih lajang. Yang terjadi, gaji yang diterima tetap lebih kecil daripada laki-laki, padahal tak ada persoalan produktivitas sama sekali.

Maka penjelasan yang benar, seluruhnya agar perempuan merasa tak nyaman dengan ketakadilan yang dialaminya.

Perempuan frustrasi dengan diskriminasi. Dan itu tak bakal terjadi, jika perempuan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik. Karenanya, segera saja kembali ke wilayah domestik.

Mitos produktivitas dikembangkan untuk membalut penggiringan perempuan, kembali ke wilayah domestik.

Apakah kemudian mitos reda di zaman teknologi digital? Sarana yang menyebabkan tak relevannya pembagian ruang domestik vs. ruang publik?

Justru hadir mitos yang lain: Pekerjaan-pekerjaan yang bahkan dapat dikerjakan dari rumah, memerlukan penggunaan dan penguasaan teknologi.

Dalam banyak hal perempuan tak nyaman dengan teknologi. Maka, gaji bagi perempuan tetap tak bisa disetarakan dengan laki-laki.

Jenis pekerjaan perempuan pun, diberikan yang bersifat klerikal dan rutin. Sebab di luar itu, hanya laki-laki yang layak melakukannya.

Lagi-lagi agar perempuan terlena, menepi dari urusan-urusan publik. Kebenaran sekali lagi tersembunyi dalam mitos.

Kawan Puan, sudah saatnya perempuan dengan kecerdasannya, membongkar mitos.

Lewat teknologi yang tersedia melimpah, bahkan gratis. Yang bisa menjadi sarana penyingkap kebenaran, yang selama ini rapat disembunyikan. (*)