Inspiratif, Ini Cerita Band Indie Sisters in Danger Suarakan Isu Sosial Lewat Musik

Ardela Nabila - Sabtu, 21 Mei 2022
Sisters in Danger.
Sisters in Danger. Dok. Sisters in Danger

Parapuan.co - Jika kebanyakan musisi ataupun band memanfaatkan musik untuk sebagai medium untuk mengekspresikan diri, berbeda dengan band Sisters in Danger.

Bagaimana tidak, lewat bermusik, band besutan seorang musisi laki-laki bernama M. Berkah Gamulya ini justru dibentuk dengan tujuan untuk mengkampanyekan berbagai isu sosial, khususnya isu perempuan.

Berdiri pada November 2016, yang membuat band indie ini makin unik dan berbeda dari yang lainnya adalah meskipun mengusung nama “sisters”, namun terdapat dua personel laki-laki di dalamnya.

Untuk diketahui, Sisters in Danger terdiri dari lima personel, yakni M. Berkah Gamulya (player sekaligus manajer, personel band Simponi), Qoqo (gitaris, personel band SHE), Arnie (bassist, personel band SHE), Titi Joe (vocalist, Jalanan the Movie), dan Ahmad Satria Landika (keyboardist, finalis Indonesia’s Got Talent).

Dengan personel yang memang sudah memiliki pengalaman di dunia musik, personel Sisters in Danger memanfaatkan potensinya dalam menciptakan lagu untuk berkampanye.

Cerita di balik terbentuknya Sisters in Danger

Belum lama ini, PARAPUAN berkesempatan untuk mendengarkan secara langsung kisah di balik terbentuknya band Sisters in Danger.

Lewat platform Zoom, M. Berkah Gamulya, yang akrab disapa Mulya, dan Arnie mewakilkan ketiga anggota lainnya untuk menceritakan latar belakang terbentuknya Sisters in Danger.

Dengan ramah, Mulya mengawali cerita di balik terbentuknya Sisters in Danger, yang ternyata awalnya berasal dari salah satu judul lagu band terdahulunya, yakni Simponi, band yang mengusung tema-tema sosial, tak terkecuali isu perempuan.

Baca Juga: Sempat Dilarang, Ini Perjuangan Voice of Baceprot Wujudkan Mimpi Jadi Band Metal Internasional

“Simponi ini band laki-laki semua yang berdiri tahun 2012. Tahun 2013 kami bikin lagu judulnya Sister in Danger. Singkat cerita, aku pengin punya band yang personelnya perempuan semua. Jadi 2016 itu aku mundur dari band Simponi dan pengin jadi manajer saja,” kenangnya.

Hanya saja, karena tak kunjung mendapatkan personel perempuan untuk mengisi setiap bagian band, ia dan salah satu rekannya dari band Simponi memutuskan untuk bergabung dengan Sisters in Danger.

Namun, sebagai laki-laki, tentu ia merasa membutuhkan perempuan untuk menyuarakan berbagai isu yang berkaitan dengan feminisme, hak perempuan, dan lainnya, sehingga lebih relatable.

“Jadi kami mendukung LSM perempuan, aktivis-aktivis perempuan, dan kelompok perempuan di manapun mereka berada. Advokasi itu akan lebih kuat dan menarik kalau pakai musik, seni, film, desain grafis, karena kami semua suka seni,” ujar Mulya lagi.

Ketertarikan Mulya terhadap isu perempuan sendiri muncul ketika ia sedang membuat lirik Sister in Danger yang dinyanyikan oleh Simponi.

Kala itu, Mulya menemukan bahwa ada pemerkosaan yang tak hanya melibatkan satu pelaku saja atau yang disebut pemerkosaan berkelompok (gang rape).

Kasus-kasus pemerkosaan terhadap perempuan di internet yang dibacanya kemudian mengingatkannya kepada para sosok perempuan di sekitarnya, seperti saudara hingga teman-teman perempuannya.

Sehingga, Mulya tergerak untuk membentuk band yang fokus dengan isu perempuan, agar bisa meningkatkan kesadaran sekaligus mengedukasi laki-laki di luar sana.

“Jadi alasan-alasan itu tadi membuat aku takut kalau masalah tersebut tidak dikampanyekan, laki-laki tidak dididik. Kalau masyarakat tidak aware dan tidak peduli dengan isu ini, tidak ada jaminan bahwa orang terdekat aku tidak menjadi korban selanjutnya. Atau teman-teman laki-lakiku tidak ada jaminan tidak menjadi pelaku berikutnya.”

Baca Juga: Suarakan Rasisme, The Linda Lindas Ingin Orang Tak Merasa Sendiri

Pernah memenangkan kompetisi yang diselenggarakan UN Women

Pada tahun 2017, Sisters in Danger pernah memenangkan sebuah kompetisi internasional yang diselenggarakan oleh UN Women Asia Pacific dan Kedutaan Kanada di Thailand, yaitu Unite Song Contest.

Kompetisi tersebut diadakan untuk menyebarluaskan pesan antikekerasan terhadap perempuan dan anak ke seluruh dunia melalui lagu dan video klip.

Pada ajang internasional tersebut, Sisters in Danger mempersembahkan lagu bertajuk 16 Oranges yang akhirnya memenangkan Most Popular Awards.

“Itu kami buat lagunya bareng-bareng. Mas Mulya yang punya lirik terus kami bikin workshop di Bandung. Jadi kami mikirnya bareng-bareng lagunya mau diapakan,” cerita Arnie saat ditanya mengenai pembuatan lagu 16 Oranges.

Cara unik Sisters in Danger kampanyekan isu sosial lewat musik

Tak hanya membuat lirik lagu yang mengusung tema isu tertentu, Mulya dan rekan-rekannya memiliki cara unik untuk menyebarkan awareness melalui musik, yang diberi nama Diskusi Musikal.

Diskusi Musikal merupakan penyuluhan yang dilakukan oleh Sisters in Danger yang terdiri dari seminar dengan iringan musik, sehingga tetap edukatif, tetapi lebih menyenangkan.

“Jadi musik bukan sebagai penghibur di sela-sela seminar, tapi musik menjadi bagian dari penyuluhan itu, diskusi itu. Jadi 50:50, jadi slide presentasi connect dengan daftar lagunya. Lagu ditentukan dengan isu atau tema yang disampaikan, atau bisa sebaliknya,” terang Mulya.

Baca Juga: Perjalanan Karier Wulan Guritno Mulai dari Jadi Presenter hingga Artis

Untuk penyuluhannya sendiri, biasanya Sisters in Danger bekerja sama dengan berbagai sekolah dan kampus untuk memberikan edukasi lewat kunjungan secara langsung.

Tak jarang, mereka berkesempatan untuk keliling Indonesia, disponsori oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) hingga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA).

Arti keberadaan Sisters in Danger untuk para personelnya

Bagi Mulya dan Arnie, mewakili ketiga personel lainnya, band yang digelutinya ini merupakan salah satu medium untuk terus belajar.

Sembari memberikan edukasi pada masyarakat, keduanya mengaku mereka turut ikut belajar dan memahami berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat sekitar.

“Ketika kami keliling itu sebenarnya kami juga jadi belajar tentang apa yang terjadi di masyarakat. Jadi kami memberikan edukasi, tapi kami banyak belajar banyak tentang apa yang terjadi di masyarakat dan apa yang harus kami lakukan,” pungkas Arnie.

“Kita menyadari adanya masalah, kita menyadari apa kurangnya kita, apa yang harus kita berikan ke orang lain, memberi empati ketika ada orang yang menjadi korban, dan memberi empati bahwa ada banyak masalah yang dihadapi oleh perempuan,” lanjutnya lagi.

Sementara itu bagi Mulya, lewat kampanye yang dilakukannya, ia mengaku lebih paham dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang laki-laki.

Baca Juga: Aktif Menari Sejak Kecil, Sita Tyasutami Ceritakan Perjalanannya sebagai Penari

“Karena perempuan saja perlu terus belajar untuk memperbaiki diri, apalagi laki-laki yang dari lahir sudah memiliki privilege patriarki,” imbuh Mulya.

Karena selama pandemi sempat tidak aktif karena semua hal dilakukan serba online, Mulya dan Arnie berharap Sisters in Danger dapat kembali berkumpul untuk lanjut berkampanye.

Keduanya juga berharap, ke depannya band ini bisa tampil di berbagai acara musik besar agar bisa lebih dikenal dan suaranya lebih didengar oleh lebih banyak audiens.

Wah, semoga band ini bisa terus melebarkan sayapnya dan apa yang diimpikan oleh para personel Sisters in Danger dapat segera terwujud, ya! (*)