Berdamai dengan Amarah Itu Penting, Begini Cara Mudah Memulainya

Tim Parapuan - Rabu, 1 Desember 2021
Berdamai dengan amarah
Berdamai dengan amarah photocheaper/iStockphoto

Tentunya hal tersebut harus dimulai lebih dulu dengan menyadari muasal amarah.

“Penyebab amarah adalah perasaan tersakiti,” tulis Seneca.

Kita mengerti, orang bisa marah karena perkara yang beragam: diejek, disenggol sampai jatuh, diserobot antreannya, dinyinyiri oleh warganet yang bahkan kita tidak kenal dia siapa, dan sebagainya.

Namun, inti dari semua sebab itu adalah perasaan tersakiti, persis seperti yang dibilang Seneca.
Lantas bagaimana kita sebaiknya merespons perasaan tersakiti itu supaya tidak berlanjut menjadi amarah?

“Jangan langsung bertindak, bahkan terhadap sesuatu yang tampak jelas dan sederhana; terkadang kepalsuan tampil sebagai kebenaran... dan kita menjadi marah sebelum menggunakan daya penilaian kita,” kata Seneca.

Sering terjadi, orang marah karena sesuatu yang ternyata salah paham, ternyata bukan hal yang sewajarnya menyulut amarah.

Baca Juga: 7 Tanda Seorang Introvert Sedang Marah, Salah Satunya Menghindar!

Lalu, rasa malu biasa muncul setelah itu, bahwa orang sadar dengan marah ia melakukan hal gegabah.

Sering juga, rasa malu itu direspons dengan amarah yang lain lagi, yang muncul dari denial, dari penyangkalan dia sendiri.

Amarah bisa mendatangkan masalah berkepanjangan, jauh lebih panjang dari yang kita kira. Maka, sekali lagi: jangan marah, pokoknya, jangan marah— jangan memulai masalah!

Lantas bagaimana kalau orang lain benar-benar ingin menyakiti (perasaan) kita? Bagaimana kalau orang lain memang meniatkan hal buruk terhadap kita, betul-betul, tanpa sedikit kesalahpahaman pun?

Seneca menjawab, “Jika orang jahat melakukan hal-hal jahat, adakah yang mengejutkan?”

Penulis:
Editor: Arintya