Parapuan.co - Setelah penangkapan Kris Wu, mantan anggota boyband EXO, akibat skandal kekerasan seksual, memunculkan gerakan yang feminisme di Cina.
Padahal sebelumnya, gerakan feminisme #MeToo di Cina sempat surut karena dilarang oleh pemerintah.
Namun, kasus pemerkosaan pada Du Meizhu dan perempuan-perempuan lainnya, berbuntut pada kebangkitan kembali gerakan tersebut.
Baca Juga: Dituduh Lakukan Pelecehan Seksual, Kris Wu Kehilangan Kontrak Kerja dan Terancam Hukuman Berat
Kasus Kris Wu sebenarnya bukan satu-satunya skandal kekerasan seksual yang mengguncang Cina dalam beberapa pekan terakhir.
Pada hari Senin (16/8/2021), raksasa e-commerce Alibaba memecat seorang karyawan yang dituduh melakukan kekerasan seksual terhadap karyawan lain selama perjalanan bisnis.
Dalam kedua kasus tersebut, para korban mengunggah tuduhan mereka di media sosial Cina yang memicu kehebohan online dan mendorong polisi untuk menyelidikinya.
Tindakan cepat pihak berwenang mendapat pujian dari banyak orang di dunia maya, yang menilai dua kasus itu sebagai indikasi penegakan hukum dan peradilan pidana yang efektif di Cina.
Namun beberapa aktivis perempuan berpendapat bahwa dua kasus tersebut dilakukan oleh orang-orang yang memiliki nama besar.
Lalu bagaimana nasib korban pemerkosaan yang oleh pelakunya adalah masyarakat biasa?
"Tidak mengherankan bahwa kedua kasus tersebut telah menarik perhatian luas, mengingat Kris Wu dan Alibaba memiliki nama yang besar," kata Feng Yuan, seorang aktivis perempuan, dikutip dari CNN.
"Kasus ini adalah pengingat bahwa untuk banyak kasus kekerasan seksual lainnya yang jika terdakwa tidak begitu terkenal atau berpengaruh mungkin tidak akan didengar sama sekali," tegasnya.
Baca Juga: Korban Bertambah, Kris Wu Diduga Lecehkan Seorang Perempuan di Amerika
Para penyintas kekerasan seksual di Cina telah menghadapi stigma yang buruk selama bertahun-tahun, baik dari lembaga resmi mau pun masyarakat.
Pada tahun 2018, organisasi feminis di Cina mendorong perempuan untuk membagikan pengalaman mereka menjadi korban kekerasan seksual.
Tetapi gerakan itu dengan cepat dibubarkan pemerintah yang memblokir diskusi online feminis, termasuk menyensor tagar dan banyak unggahan terkait.
Aktivis perempuan menilai kasus Kris Wu menunjukkan pemerintah masih enggan membahas pelanggaran seksual sebagai masalah sistemik.
Alih-alih memberikan beban kesalahan kepada pelaku, pemerintah dan lembaga hukum lebih memilih untuk menyalahkan lingkungan.
Hal itu terbukti dengan badan pengawas pemerintah yang mengatakan bahwa kasus Kris Wu adalah akibat sisi kelam Ibu Kota dan lingkungan yang liar industri hiburan.
Para aktivis menilai kurangnya dukungan bagi para penyintas kekerasan seksual dan ketidaksetaraan gender mengakar dari banyak aspek masyarakat Cina.
Lv Pin, seorang feminis Cina yang sekarang tinggal di New York, mengatakan bahwa sampai saat ini pemerintah Cina masih takut terhadap adanya gerakan aktivisme sosial, terutama perempuan.
Tak satu pun korban yang terlibat dalam kasus Kris Wu berani meminta bantuan kepada organisasi feminis.
Baca Juga: Louis Vuitton, Bvlgari hingga Lancome Putus Kontrak dengan Kris Wu Setelah Kasus Pelecehan Seksual
Mereka juga takut bersuara soal gerakan #MeToo karena dengan mudah dapat menarik sensor di media sosial.
Walau begitu, kedua kasus tersebut memberikan secercah harapan yaitu adanya kesadaran masyarakat terkait pentingnya penanganan kasus kekerasan seksual.
"Tidak peduli apakah mereka menyebutnya #MeToo atau tidak, intinya adalah ini refleksi bagi gerakan feminis di Cina," ucap Feng Yuan.
"Meskipun sebagian besar akun media sosial feminis terkemuka telah disensor, para korban selalu dapat menemukan cara mereka sendiri untuk berbicara," katanya lebih lanjut. (*)