Heboh Susu Beruang, Ternyata Panic Buying Picu Strategi Penjualan Baru

Arintha Widya - Senin, 5 Juli 2021
Fenomena panic Buying di Solo.
Fenomena panic Buying di Solo. TRIBUNSOLO.COM/ADI SURYA SAMODRA

Parapuan.co - Baru-baru ini media sosial dihebohkan dengan video panic buying produk susu beruang.

Panic buying tersebut dipicu karena banyak orang percaya bahwa mengonsumsi susu steril akan mencegah dari terinfeksi virus Covid-19.

Mengutip dari Kompas, pada dasarnya yang dapat mencegah seseorang dari terinfeksi Covid-19 bukan hanya susu steril yang dibutuhkan, tetapi juga imun tubuh yang baik.

Panic buying sendiri tak hanya sekali ini terjadi di Indonesia, terlebih semenjak pandemi Covid-19 melanda.

Baca Juga: Ludes Diborong Warga, Begini Penjelasan Ahli Gizi Soal Manfaat Susu Beruang

Di awal pandemi ketika pemerintah mengumumkan lockdown di beberapa daerah, panic buying juga pernah dan sering terjadi.

Begitu diumumkan bahwa pasar atau pusat perbelanjaan akan ditutup misalnya, masyarakat berbondong-bondong membeli stok makanan dan kebutuhan rumah tangga.

Sebut saja di antaranya sarung tangan, sabun cuci tangan, masker, hand sanitizer, tisu/lap, tisu basah, dan masih banyak lagi.

Bahkan pada masa awal pandemi, tak sedikit yang memborong masker medis dan menyebabkan kelangkaan hingga harganya jadi sangat mahal di pasaran.

Lalu soal kasus susu steril belakangan juga menimbulkan dampak yang sama, di mana harga produk tersebut mendadak melonjak tajam.

Dari harga asli yang berkisar antara Rp8.000 sampai Rp9.000, menjadi Rp12.000 sampai Rp15.000.

Bahkan di sebuah toko online, susu yang sama dibanderol dengan harga Rp50.000.

Fenomena panic buying semacam ini jelas memicu sejumlah perubahan di industri perdagangan, terlebih dalam strategi penjualan.

Perubahan dalam strategi penjualan sebagaimana melansir ecommercetimes.com meliputi beberapa hal, di antaranya:

Baca Juga: Selain Konten Viral, Ini 3 Tips Meningkatkan Penjualan di Instagram

1. Tren belanja offline ke online

Belanja daring memang sudah ada sebelum pandemi, tetapi semakin menjadi tren yang tidak bisa dihindari begitu Covid-19 membatasi segalanya.

Banyak orang yang kemudian beralih dari belanja offline ke online karena membatasi pertemuan dengan orang lain dan menghindari kerumunan.

Mereka melakukan pencegahan agar tidak mudah terinfeksi Covid-19 dengan berbelanja di E-commerce.

Senada dengan perubahan perilaku konsumen, penjual pun beralih memasarkan dan menjual produknya ke toko online dan bergabung dengan E-commerce.

"Belanja bahan makanan daring akan terus berkembang pesat. Pandemi hanya membantu mencapai titik puncaknya," kata Stacy Thomson, wakil presiden e-bisnis di Scrum50.

"Pengecer juga telah dipaksa untuk meningkatkan pengalaman belanja klik dan ambil. Sekarang setelah dimulai, tidak akan ada jalan untuk kembali," imbuhnya.

2. Ritel melakukan manuver taktis

Berkurangnya kunjungan konsumen ke toko ritel membuat pelaku usaha harus menyesuaikan diri.

Mereka tidak dapat mengabaikan E-commerce dan perlu merambah toko daring jika ingin bertahan di masa pandemi.

Strategi pemasaran juga berubah, dari yang semula hampir tidak berpromosi karena ritel saingan tidak banyak di suatu tempat, menjadi gencar melakukan promosi lantaran menjual produk secara daring.

Baca Juga: Salesperson Perlu Tahu 6 Teknik Penjualan Berikut agar Omzet Meningkat

Di toko daring, penjual ritel sangat banyak dan harga bersaing, jadi persaingan usaha pun makin besar.

"Itu terus menjadi bagian penting dari strategi merek apapun yang menjalani transisi ke dunia pasca pandemi," terang Brian Gioia, direktur strategi produk di Scrum50.

"Dalam adaptasi kebiasaan baru, bagaimana lagi sebuah merek menyeimbangkan dua saluran penjualan dan tren apa yang akan terus berkembang di lanskap pemasaran baru?" tambahnya.

3. Kelelahan konsumen

Barangkali, tidak semua konsumen familier dengan berbelanja secara daring, terlebih bagi para orang tua yang kurang paham teknologi.

Konsumen yang seperti ini terkadang memilih untuk keluar rumah, berbelanja di toko-toko atau pasar yang tak jauh dari kediamannya.

Di sisi lain, mereka juga harus siap dengan reaksi orang yang lebih muda, yang tahu bahwa mereka melakukan kontak sosial di luar.

Baik yang berbelanja daring maupun kontak langsung sama-sama lelah, mengingat mereka perlu memenuhi kebutuhannya masing-masing.

Dalam hal ini, mau tidak mau masyarakat terbagi menjadi dua garis perilaku yang berlawanan.

Pertama ialah mereka yang berbelanja daring, dan kedua adalah orang yang setia belanja di toko tertentu.

Baca Juga: Toko Online Ini Jual Murah Kain Sisa Louis Vuitton dan Dior

Itulah beberapa penyebab perubahan strategi penjualan yang dipicu oleh panic buying.

Supaya tidak panik dalam berbelanja, sebaiknya kamu pertimbangkan dulu antara kebutuhan dan ketersediaan barang, ya.

Kalau ada yang barang yang bisa disubstitusi karena fungsinya sama, tidak masalah untuk membelinya daripada harus berebut dan menciptakan kerumunan. (*)