Trauma yang Tak Terlihat, Memahami Luka Psikologis Perempuan Korban Pemerkosaan

By Saras Bening Sumunar, Rabu, 9 Juli 2025

Dampak psikologi perempuan korban pemerkosaan.

Parapuan.co - Ketika seseorang mendengar kata pemerkosaan, sebagian besar mungkin langsung membayangkan kekerasan fisik yang brutal, situasi yang memaksa, atau tindakan kriminal yang sangat jelas pelanggarannya.

Namun, di balik itu semua, terdapat luka yang jauh lebih dalam dan sulit dilihat, yakni luka psikologis yang tertanam di dalam batin perempuan korban pemerkosaan. Luka ini tidak berdarah atau meninggalkan bekas yang terlihat, namun dampak psikologisnya bisa menghancurkan hidup seseorang secara perlahan.

Yang lebih menyedihkan, luka batin ini sering kali tidak disadari oleh lingkungan sekitar. Merujuk dari laman Cleveland Clinicsetidaknya ada 433.000 kasus pemerkosaan yang dialami oleh perempuan. Kasus ini bahkan menimpa anak-anak usia 12 tahun hingga perempuan dewasa. 

Sementara di Indonesia sendiri terdapat 12.366 kasus kekerasan seksual termasuk pemerkosaan yang menempatkan perempuan dan anak sebagai korban utamanya. Angka tersebut terhitung sejak 1 Januari 2025 berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA).

Untuk kamu ketahui bahwa pemerkosaan adalah bentuk kekerasan seksual yang memaksa korbannya untuk melalui tindakan seksual baik melalui vagina, anal, maupun oral tanpa persetujuan. Seringkali, pelaku pemerkosaan melakukan kekerasan fisik untuk menaklukan korbannya sebelum melancarkan aksinya. 

Trauma Psikologis Pasca Pemerkosaan

Trauma psikologis yang dialami perempuan korban pemerkosaan sering kali masuk dalam kategori Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), namun sebenarnya spektrumnya bisa jauh lebih luas dan kompleks.

Rasa takut yang sangat intens, ketidakpercayaan terhadap orang lain, kecemasan yang terus-menerus, dan perasaan bersalah yang berlarut-larut menjadi bagian dari realitas sehari-hari yang terus menghantui.

Korban bisa mengalami flashback, yaitu kilas balik traumatis yang membuat mereka merasa seolah-olah kejadian mengerikan itu terjadi kembali secara nyata. "Ketika perempuan mengalami pelecehan seksual saat masih anak-anak, remaja, atau bahkan dewasa, mereka merasa bisa kehilangan kendali atas diri sendiri," ujar Shweta Kapoor, MD, Ph.D., seorang psikiater sebagaimana dikutip dari Mayo Clinic.

Baca Juga: Dialami Nadin Amizah, Mengapa Pelecehan pada Perempuan Terjadi di Ruang Publik?

Dampak psikologis lain dari pemerkosaan adalah kecenderungan korban untuk menyalahkan diri sendiri. Korban mungkin berpikir bahwa ia bisa mencegahnya (kejadian pemerkosaan) jika saja kamu tidak berjalan sendirian malam itu, jika pakaianmu berbeda, atau apabila kamu bisa melawan lebih keras.

Pikiran-pikiran seperti ini muncul karena budaya patriarki dan narasi sosial yang masih menormalisasi pemerkosaan sebagai kesalahan perempuan. Padahal, tidak ada satu pun alasan yang membenarkan tindakan kejahatan seksual apa pun situasinya.

Rasa bersalah ini bisa mengakar sangat dalam hingga membuat korban menarik diri dari kehidupan sosial, menolak bantuan, dan merasa tidak layak untuk sembuh atau bahagia. Kondisi ini sangat berbahaya karena bisa memicu depresi berat bahkan pikiran untuk mengakhiri hidup.

"Karena pengalaman mereka menghadapi kesulitan (pemerkosaan), toleransi mereka terhadap tekanan menjadi jauh lebih rendah," imbuh Shweta Kapoor.

Dampak Jangka Panjang terhadap Kesehatan Mental

Trauma dari pemerkosaan tidak hanya berlangsung selama beberapa minggu atau bulan. Banyak perempuan korban yang masih merasakan dampaknya bertahun-tahun setelah kejadian.

Beberapa di antaranya mengalami gangguan kecemasan, insomnia, gangguan makan, dan bahkan panic attack yang muncul tanpa peringatan. Selain itu, hubungan interpersonal mereka juga sering kali terganggu.

Mereka mungkin kesulitan untuk membangun hubungan romantis yang sehat, takut akan sentuhan fisik, atau merasa tidak percaya lagi pada siapa pun. Beberapa perempuan juga mengalami gangguan identitas, di mana korban merasa bahwa diri mereka telah berubah secara fundamental.

Mereka merasa kotor, rusak, atau tidak lagi menjadi diri yang dulu. Kondisi ini sering kali membutuhkan terapi jangka panjang dengan pendekatan profesional yang sangat hati-hati dan penuh empati.

Pemulihan dari trauma pemerkosaan bukanlah proses yang mudah dan instan. Ada hari-hari ketika kamu merasa kuat, dan hari lain ketika semua rasa sakit itu kembali menghantam. Yang perlu diingat adalah bahwa proses ini valid dan sah.

Mencari bantuan dari psikolog atau konselor, bergabung dengan kelompok dukungan, atau sekadar memiliki seseorang yang bisa mendengarkan tanpa menghakimi adalah langkah awal yang sangat berarti.

Baca Juga: Mengenal Sosok Dua Srikandi DPR yang Menangis Bahas Pemerkosaan Mei 1998

(*)