Hal Ini Jadi Alasan Ada Batas Usia Melamar Kerja di Indonesia, Apa Solusinya?

By Arintha Widya, Selasa, 13 Mei 2025

Penyebab adanya batas usia melamar kerja di Indonesia, apa yang bisa dilakukan?

Parapuan.co - Kawan Puan, batas usia dalam syarat melamar kerja masih menjadi batu sandungan besar bagi banyak pencari kerja di Indonesia. Meski kemampuan dan pengalaman bisa terus diasah, usia tetap menjadi penghalang administratif yang sulit dihindari. Banyak lowongan mencantumkan batas maksimal usia 30 tahun, bahkan ada yang lebih ketat, hanya sampai 27 tahun. Kondisi ini membuat para pencari kerja usia matang harus gigit jari.

Padahal zaman sudah berubah. Usia tak lagi bisa dijadikan satu-satunya tolak ukur produktivitas. Banyak orang usia 30-an hingga 40-an tetap bisa bekerja dengan efisien, bahkan memiliki kedewasaan emosional dan pengalaman yang lebih baik. Namun kenyataannya, mereka kerap disisihkan hanya karena faktor umur.

Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam, mengatakan bahwa syarat usia muncul karena jumlah pelamar kerja jauh lebih banyak dari kuota lowongan yang tersedia.

"Misalnya buka lowongan untuk 10 orang tapi yang daftar 1.000 orang. Apa iya 1.000 orang itu harus dites satu-satu? Enggak kan? Makanya perusahaan berpikir, ya sudahlah yang di atas 30 tahun enggak usah melamar," terang Bob Azam sebagaimana dikutip dari Kompas.com.

Batas Usia Tanda Minimnya Lapangan Kerja

Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa pembatasan usia adalah solusi praktis untuk menyederhanakan proses seleksi. Dalam konteks efisiensi, memang lebih mudah menyaring ribuan pelamar dengan kriteria usia. Namun pendekatan ini justru menciptakan diskriminasi dan mengabaikan kompetensi calon pekerja yang lebih senior.

Ini mencerminkan bahwa sistem rekrutmen kita belum sepenuhnya berbasis meritokrasi. Bob juga menyoroti perbedaan kondisi Indonesia dengan negara maju seperti Singapura. Di sana, perusahaan tidak membatasi usia karena jumlah lapangan kerja jauh lebih banyak dibanding jumlah pencari kerja.

"Di Singapura saja umur 70 tahun juga diterima kerja bersih-bersih karena lapangan pekerjaannya banyak, suplainya sedikit," ungkapnya. Artinya, akar masalah di Indonesia bukan sekadar pada preferensi perusahaan terhadap usia, tetapi karena minimnya lapangan pekerjaan.

Ketika lapangan kerja terbatas dan jumlah pencari kerja tinggi, maka penyaringan melalui batas usia menjadi "jalan pintas". Ini menandakan perlunya perubahan struktural dalam penciptaan pekerjaan. Bukan hanya memperdebatkan soal usia, tapi memperluas akses kerja secara menyeluruh.

Baca Juga: Pakar Unair Ungkap Dampak Naiknya Batas Usia Pensiun, Bagaimana dengan Pekerja Perempuan?

Faktor Perkembangan Digital Jadi Pertimbangan

Konsultan karier Ina Liem juga menambahkan perspektif lain soal batas usia. Menurutnya, pembatasan itu kerap berkaitan dengan budaya kerja antar generasi yang ingin dijaga oleh perusahaan. Beberapa perusahaan merasa lebih nyaman dengan kelompok usia tertentu karena kesamaan nilai atau gaya kerja.

"Namun ada juga perusahaan dunia digital justru lebih suka merekrut generasi Z selain karena bisa dibayar dengan upah yang minimal, gen Z dianggap lebih kekinian dan cocok untuk perkembangan digital," kata Ina. Pernyataan ini menunjukkan bahwa preferensi usia tak hanya soal efisiensi, tapi juga soal ekonomi dan citra. Generasi muda dianggap lebih fleksibel dan lebih mudah dibentuk.

Jika dibiarkan terus-menerus, batas usia dalam rekrutmen akan menciptakan ketimpangan sosial. Orang yang pernah mengambil jeda karier, seperti ibu rumah tangga atau korban PHK usia 30-an, akan kesulitan kembali ke dunia kerja. Padahal mereka bisa jadi punya motivasi dan keterampilan yang lebih tinggi dibanding kandidat muda yang baru lulus.

Solusi atas permasalahan ini harus mencakup berbagai pendekatan. Pemerintah, misalnya, bisa mengatur agar batas usia tidak dijadikan kriteria utama dalam lowongan kerja, terutama untuk posisi yang tidak memerlukan kondisi fisik prima. Selain itu, penting juga mengembangkan platform rekrutmen berbasis kompetensi, bukan sekadar data demografis.

Perusahaan juga perlu diberikan edukasi bahwa keberagaman usia bisa memperkuat dinamika kerja. Kombinasi antara pengalaman dari generasi lebih senior dan inovasi dari generasi muda akan menciptakan tim yang seimbang. Pemikiran seperti ini perlu diarusutamakan dalam strategi rekrutmen agar tidak terjebak dalam homogenitas usia.

Ketersediaan pelatihan vokasi dan upskilling bagi usia 30 tahun ke atas juga penting. Banyak pencari kerja dewasa yang sebenarnya siap beradaptasi dengan teknologi dan tren baru, asal diberi kesempatan belajar. Dengan kebijakan pelatihan berkelanjutan, perusahaan pun tidak perlu ragu mempekerjakan tenaga kerja usia lebih matang.

Lebih jauh lagi, peran pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja baru sangat vital. Seperti yang diutarakan Bob Azam, ketersediaan lapangan kerja menjadi kunci. Jika jumlah pekerjaan bertambah, maka kebutuhan tenaga kerja tidak bisa lagi dibatasi hanya pada usia tertentu. Ini menjadi solusi jangka panjang untuk menghapus diskriminasi usia secara sistemik.

Masyarakat juga perlu didorong untuk lebih kritis terhadap budaya pembatasan usia ini. Kampanye kesadaran bahwa usia tidak selalu sejalan dengan kompetensi bisa membentuk opini publik yang lebih adil. Perubahan mindset ini akan menekan perusahaan untuk mengevaluasi kembali kebijakan rekrutmennya.

Baca Juga: Pemprov Jatim Terbitkan Larangan Batas Usia dalam Lowongan Kerja

Di saat yang sama, pencari kerja juga harus terus meningkatkan daya saingnya. Mengikuti pelatihan digital, memperluas jaringan, serta menunjukkan semangat belajar bisa menjadi nilai tambah, bahkan bagi yang sudah melewati usia 30. Dunia kerja akan selalu berubah, dan kesiapan untuk beradaptasi tetap menjadi modal utama.

Pada akhirnya, pembatasan usia hanyalah gejala dari sistem ketenagakerjaan yang belum inklusif dan belum efisien. Jika akar masalahnya adalah sedikitnya lapangan kerja dan budaya kerja yang eksklusif, maka solusinya adalah mendorong perubahan menyeluruh. Baik dari pemerintah, dunia usaha, maupun pencari kerja sendiri.

Sudah saatnya Indonesia membuka ruang kerja yang lebih adil untuk semua usia. Produktivitas tak mengenal angka, dan pengalaman tak bisa dibatasi oleh umur. Yang dibutuhkan adalah kemauan untuk memberi kesempatan bagi semua yang ingin bekerja dan berkembang.

(*)