Parapuan.co - Setiap tahunnya, masyarakat Jawa, khususnya di Kota Solo, memaknai malam satu Suro sebagai malam yang sarat nilai spiritual dan budaya. Bukan sekadar penanda tahun baru dalam kalender Jawa, malam satu Suro juga dipercaya sebagai waktu yang penuh energi gaib, sehingga menjadi momen penting untuk melakukan tirakatan atau laku spiritual demi keselamatan diri dan lingkungan.
Pada 2025, malam satu Suro diperingati pada Kamis malam, 26 Juni 2025, menjelang tanggal 1 Suro yang jatuh pada Jumat, 27 Juni 2025. Berbagai tradisi dan pantangan pun menyertainya, mulai dari larangan keluar rumah, menimbulkan kebisingan, hingga anjuran untuk tidak tidur.
Namun, lebih dari sekadar pantangan, malam ini menjadi ajang refleksi dan penyucian batin. Yuk, simak makna di balik tirakatan malam satu Suro menurut budayawan Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Prof. Bani Sudardi, sebagaimana dikutip Kompas.com di bawah ini!
Tirakatan, Bukan Sekadar Begadang Tidak Tidur
Prof. Bani Sudardi, menjelaskan bahwa kepercayaan seputar malam satu Suro tidak semata-mata berupa larangan keras untuk tidur atau membuat keributan. Bukan berarti tidak boleh tidur tapi dianjurkan untuk tirakat," ujar Prof. Bani.
Tirakat yang dimaksud adalah bentuk meditasi atau berjaga semalam suntuk dengan niat menjaga diri secara spiritual. Prof. Bani menambahkan, laku ini lebih dianjurkan bagi kaum laki-laki, terutama kepala keluarga yang secara adat bertanggung jawab menjaga keselamatan rumah tangga.
"Dalam konteks ini, perempuan seperti ibu menyusui dan anak-anak tidak diwajibkan mengikuti tirakat, mereka boleh tidur di malam hari," tambahnya.
Simbol Penjagaan di Malam Sakral
Di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta, malam satu Suro dirayakan dengan ritual khusus yang mengandung makna filosofis mendalam. Para senopati dan abdi dalem menjalankan tugas ronda keliling tembok keraton sambil membawa pusaka. Ritual ini dilakukan sebagai upaya menjaga wilayah keraton dari gangguan tak kasat mata.
Baca Juga: Mengenal Apa Itu Sekaten yang Hanya Ada di Solo dan Yogya, Sudah Tahu?
"Ibaratnya ini suasana genting harus dijaga. Jadi menurut kepercayaan Jawa, yang namanya ada orang melek itu, makhluk halus jadi pakewuh (segan) untuk menggoda," jelas Prof. Bani.
Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, kehadiran manusia yang sadar dan berjaga sepanjang malam diyakini mampu menangkal energi negatif atau makhluk jahat yang mencoba mengganggu harmoni kehidupan.
Pusaka: Lebih dari Sekadar Benda
Pusaka yang dibawa saat tirakatan bukanlah sekadar benda antik, melainkan diyakini mengandung kekuatan spiritual.
"Dalam kepercayaan Jawa, setiap pusaka mengandung pangaribowo, yakni pengaruh atau daya gaib tertentu. Misalnya, pusaka tertentu punya pengaruh menyingkirkan makhluk halus," kata Prof. Bani.
Penggunaan pusaka saat berjaga menjadi lambang kesiapan spiritual, sekaligus pertahanan diri dari gangguan tak kasat mata. Makna filosofis dari keliling tembok keraton juga menyiratkan penjagaan ruang kehidupan, baik secara lahir maupun batin, dari ancaman yang tidak terlihat.
Menyongsong Tahun Baru Jawa dengan Laku Spiritual
Bagi masyarakat Solo, tirakatan malam satu Suro adalah bagian dari tradisi turun-temurun yang memperkuat ikatan dengan leluhur dan semesta. Laku seperti berjaga, bermeditasi, dan membawa pusaka mencerminkan bentuk kesiapsiagaan menghadapi tahun yang baru.
"Harapannya, suasana malam tersebut bisa dilalui dengan tenang dan jauh dari mara bahaya, baik yang terlihat maupun yang tidak kasat mata," tandas Prof. Bani.
Dengan menjaga keheningan dan memusatkan diri pada laku spiritual, malam satu Suro menjadi waktu yang bukan hanya sakral, tetapi juga penuh harapan akan keselamatan, keseimbangan, dan perlindungan dalam hidup.
Tradisi ini tetap hidup dan berkembang di Solo sebagai warisan budaya yang menjiwai kehidupan masyarakat Jawa hingga hari ini.
Baca Juga: Seru dan Kental Budaya, Ini Daftar Acara Malam Tahun Baru 2025 di Solo
(*)