Parapuan.co - Selama lebih dari satu dekade, Marvel Cinematic Universe (MCU) telah menjadi fenomena budaya global. Namun, di balik gemerlap kesuksesan film-filmnya, kritik tajam kerap menghampiri soal representasi gender.
Sejak era awal Iron Man hingga Avengers: Endgame, penonton perempuan dan pengamat budaya pop tak henti menyoroti bagaimana karakter perempuan dalam MCU kerap hanya menjadi tempelan: sekadar pendukung, pemanis visual, atau bahkan pengorbanan untuk menguatkan narasi karakter laki-laki.
Namun, film terbaru Thunderbolts* (berganti judul menjadi The New Avengers) yang rilis 2 Mei 2025, menawarkan sesuatu yang terasa berbeda. Meski dikemas sebagai film berkelompok—menggabungkan beberapa anti-hero dari semesta Marvel—nyatanya Thunderbolts adalah film yang dipimpin oleh karakter perempuan, tanpa embel-embel atau pengakuan eksplisit.
Florence Pugh, yang memerankan Yelena Belova, tampil sebagai poros utama cerita, sebagaimana merangkum Observer. Karakternya kuat, emosional, dan kompleks, tetapi tidak pernah jatuh ke jebakan stereotip perempuan tangguh yang tetap harus terlihat "sempurna" di layar.
Menilik Jejak 'Isu Perempuan' di MCU
Sejak kemunculan Natasha Romanoff alias Black Widow (Scarlett Johansson) dalam Iron Man 2 (2010), sudah tampak pola bagaimana Marvel memperlakukan karakter perempuan. Black Widow kala itu muncul dengan balutan kostum ketat, rambut tergerai sempurna, dan aksen sensual.
Walau kemampuan bertarungnya tak diragukan, framing visual jelas menunjukkan tujuannya: eye candy untuk penonton. Upaya perbaikan muncul bertahap di film-film berikutnya seperti The Avengers dan Captain America: Civil War, namun tak cukup signifikan.
Butuh waktu hingga 2019 sebelum Marvel merilis Captain Marvel, film solo perempuan pertamanya. Namun alih-alih dirayakan, film ini diserang gelombang komentar misoginis di internet. Bahkan ketika film solo Black Widow (2021) akhirnya tayang, menampilkan narasi yang lebih menghormati karakter perempuan, film itu pun tak lepas dari kritik dan minim apresiasi yang layak.
Thunderbolts Jadi Representasi yang Setara dan Manusiawi
Baca Juga: 3 Fakta Menarik Film The Marvels, Kisah Superhero Perempuan di MCU
Thunderbolts memperbaiki banyak kekeliruan itu. Di bawah arahan Jake Schreier dan naskah karya Eric Pearson serta Joanna Calo, film ini menghadirkan Yelena Belova sebagai pemimpin yang tidak didikte oleh gendernya.
Dengan rambut dipotong pendek, pakaian yang praktis, dan wajah yang tak ragu kotor atau penuh luka, Yelena tampil autentik. Ia jauh dari bayangan superhero perempuan versi layar lebar yang biasanya serba mulus dan rapi. Ia perempuan yang rentan namun tegar, bingung namun penuh inisiatif.
Ceritanya berfokus pada misi Yelena yang diminta oleh Valentina Allegra de Fontaine (Julia Louis-Dreyfus) untuk menghapus jejak kesalahan masa lalu. Dalam prosesnya, ia bergabung dengan beberapa anti-hero lain seperti John Walker (Wyatt Russell), Ghost (Hannah John-Kamen), dan Bob (Lewis Pullman).
Menariknya, tidak ada karakter yang terlalu didorong ke depan hanya karena popularitas aktor atau gender. Semua mendapat porsi luka, tantangan, bahkan pergulatan emosional yang seimbang.
Film ini juga berani mengangkat isu yang jarang disentuh dalam film superhero, yaitu kesehatan mental. Karakter-karakter dalam Thunderbolts bergulat dengan trauma, kecanduan, dan depresi, tanpa kehilangan elemen aksi yang menjadi ciri khas Marvel.
Yang membedakan, kali ini tidak ada karakter perempuan yang hanya dijadikan korban untuk memajukan cerita tokoh laki-laki. Meski ada satu karakter yang mati terlalu cepat, keseluruhan film memperlakukan karakter perempuannya dengan hormat.
Langkah Maju yang Patut Dicatat
Keberhasilan Thunderbolts bukan sekadar karena porsi layar yang diberikan pada Florence Pugh, tetapi juga bagaimana film ini memposisikan karakternya secara setara dalam narasi. Pugh sendiri berhasil menyuntikkan kedalaman emosi yang selama ini lebih sering dinikmati oleh karakter laki-laki dalam MCU—seperti Tony Stark atau Steve Rogers. Yelena Belova terasa seperti manusia utuh, bukan ikon semata.
Marvel memang memasarkan Thunderbolts sebagai film ensemble dengan menyebut nama-nama besar seperti Sebastian Stan dan David Harbour, namun sulit dibantah bahwa inilah film Florence Pugh. Penampilannya layak disandingkan dengan Robert Downey Jr. di era awal MCU.
Baca Juga: 20+ Bintang MCU Jadi Cast Avengers: Doomsday, Inikah Plot yang Akan Kita Lihat?
Ditambah dengan konfirmasi keterlibatannya di Avengers: Doomsday yang akan datang, tampaknya Marvel tengah membangun pusat gravitasi baru dalam semestanya, kali ini dengan tokoh perempuan di porosnya.
Lebih dari sekadar film superhero, Thunderbolts adalah pernyataan bahwa kesetaraan gender di layar lebar bukan sekadar soal memberi lebih banyak peran pada perempuan. Ini soal bagaimana karakter perempuan diperlakukan dengan martabat, kompleksitas, dan ruang pengembangan yang sama seperti karakter laki-laki.
Jika langkah ini diteruskan, bukan tidak mungkin masa depan MCU akan dipenuhi pahlawan yang menarik, tanpa embel-embel gender. Pada akhirnya, seperti yang dibuktikan Thunderbolts, karakter paling menarik dan aktor paling berbakat layak jadi pusat cerita—apapun gender mereka.
(*)