Hari Perempuan Internasional 2024, Ini Tuntutan dan Seruan Aliansi Perempuan Indonesia

Rizka Rachmania - Jumat, 8 Maret 2024
Peringati Hari Perempuan Internasional 2024 atau International Women's Day 2024, Aliansi Perempuan Indonesia serukan dan tuntut beberapa hal ini.
Peringati Hari Perempuan Internasional 2024 atau International Women's Day 2024, Aliansi Perempuan Indonesia serukan dan tuntut beberapa hal ini. Dok. Aliansi Perempuan Indonesia

Parapuan.co - Hari Perempuan Internasional (International Women's Day/IWD) yang diperingati setiap tanggal 8 Maret merupakan tonggak perjuangan perempuan di seluruh dunia untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan, pelecehan, dan diskriminasi berbasis gender.

Di Indonesia, partisipasi perempuan masih sulit direalisasikan karena belenggu kekerasan terhadap perempuan yang sistematis dan terstruktur.

Peringatan Hari Perempuan Internasional 2024 jadi momen penting bagi gerakan perempuan, karena ini akan menjadi seruan perlawanan atas segala carut marutnya demokrasi.

Kemerosotan demokrasi di Indonesia juga tergambar dalam pemilihan umum (pemilu) 2024 yang diwarnai dengan ketidaknetralan presiden, hingga pelanggaran etik karena adanya konflik kepentingan di Mahkamah Konstitusi (MK).

Situasi di atas menandakan sedang terjadinya kemerosotan demokrasi di Indonesia, oleh karena itu perempuan Indonesia melihat bahwa hal tersebut merupakan ancaman serius.

Kemerosotan demokrasi yang tadi digambarkan bisa menihilkan keterwakilan perempuan dalam politik.

Hal itu terbukti dari tidak terpenuhinya syarat keterwakilan 30% perempuan dalam partai politik yang ikut pemilu 2024 sebagaimana diatur dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum.

Bahkan sejak aturan mengenai keterwakilan perempuan disepakati, belum ada kejadian di mana mayoritas partai politik tidak mematuhi aturan yang ada.

Hal ini menunjukkan bahwa sampai saat ini komitmen pemenuhan hak perempuan dalam politik dari hulu hingga hilir hanya menjadi sekadar jargon belaka.

Baca Juga: Hari Perempuan Internasional: Perempuan dan Dampak Krisis Iklim yang Tak Bisa Dipisahkan

Masalah lain adalah sulitnya advokasi hak perempuan dan langgengnya pemiskinan perempuan.

Tingginya penyerapan tenaga kerja perempuan pada kenyataannya tidak bisa menjadi indikator peningkatan partisipasi bagi perempuan akibat sistem kerja fleksibel yang mengabdi pada kepentingan pasar bebas dan kemudahan investasi.

Perempuan justru dipaksa masuk dalam lubang kemiskinan melalui kebijakan upah murah, relasi kerja informal dan tanpa pengakuan status kerja, minimnya perlindungan bagi penyandang disabilitas, perempuan hamil dan menyusui.

Salah satu konsekuensi logis dari lapangnya jalan investasi dan pembangunan adalah pasar tenaga kerja murah.

Dalam konteks industri padat Karya, salah satunya sektor garmen yang mempekerjakan 90% perempuan justru memperlihatkan bagaimana nihilnya kesejahteraan buruh perempuan di industri tersebut.

Sektor garmen paling berisiko terkena dampak krisis - PHK. Di tengah kontrak kerja yang semakin pendek umurnya, sistem No Work No Pay/Tidak Kerja Tidak Dibayar juga dipraktikkan oleh perusahaan dengan tidak membayar pekerja perempuan yang mengambil haknya seperti cuti hamil, haid, sakit, dan melahirkan.

Dengan sistem tersebut, praktik kerja penuh kekerasan menjadi tidak terhindarkan. Upah murah, lembur tidak dibayar dan hak-hak normatif yang meluruh lantaran status kerja fleksibel.

Selama sepuluh tahun terakhir, angka kekerasan seksual semakin meningkat, baik di ranah privat maupun ranah publik. Perempuan korban kekerasan kerap mengalami diskriminasi dan re-viktimisasi dalam proses peradilan, sehingga sulit mendapat kepastian dan keadilan.

Selama dua puluh tahun Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) tak kunjung disahkan, dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang menjadi harapan korban kekerasan seksual masih terganjal dengan peraturan pelaksanaan yang tak kunjung jadi prioritas pembahasan.

Baca Juga: Hari Perempuan Internasional, Momen Penting untuk Mendorong Kesetaraan Gender di Tempat Kerja

Selama 17 Tahun, masyarakat sipil telah menggelar Aksi Kamisan dengan tuntutan penyelesaian dengan di Pengadilan HAM Ad-hoc, namun tidak menemui hasil.

Sumarsih, salah satu Presidium Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) telah mengirimkan surat terbuka sebanyak 445 yang dikirimkan ke Presiden Jokowi, namun belum ada hasil baik.

Oleh karena itu, Aliansi Perempuan Indonesia menuntut dan menyerukan beberapa hal berikut dalam rangka peringatan Hari Perempuan Internasional 2024:

1. Tegakkan demokrasi dan supremasi hukum

2. Wujudkan kebijakan yang mendukung penghapusan kekerasan, dan melindungi perempuan, yaitu dengan:

- Sahkan RUU PPRT, RUU Perlindungan Masyarakat Adat, RUU Anti Diskriminasi, dan Raperda Bantuan Hukum DKI Jakarta, dan wujudkan aturan pelaksana yang mendukung implementasi UU TPKS.

- Ratifikasi Konvensi International Labour Organization (ILO) No 190 Tahun 2019 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja

- Cabut dan/atau membatalkan regulasi anti-demokrasi yang merugikan perempuan, kelompok minoritas lainnya baik di tingkat daerah maupun nasional, seperti UU Cipta Kerja, Revisi UU ITE

- Susun pengaturan perlindungan Pembela HAM dan lingkungan agar terhindar dari praktik kekerasan, serangan, maupun kriminalisasi

- Keluarkan larangan pada setiap kebijakan yang mengarah kepada diskriminasi berbasis gender dan orientasi seksual

- Akomodir kebutuhan maternitas perempuan pekerja

- Sediakan akses yang ramah bagi disabilitas di lingkungan kerja

- Berikan jaminan kesehatan yang memadai bagi perempuan pekerja

- Bangun tata kelola pangan yang berkelanjutan dan menurunkan harga sembako

3. Tuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM Berat Masa Lalu dan berbagai pelanggaran HAM saat ini secara berkeadilan dan berpusat pada pemenuhan, serta pemulihan hak-hak korban.

Baca Juga: Sambut Hari Perempuan Internasional, Ada Program Women in Entrepreneurship yang Bisa Dicoba

(*)

Penulis:
Editor: Rizka Rachmania