Parapuan.co- Setiap tanggal 30 September diperingati sebagai Hari Lansia Sedunia.
Kali ini PARAPUAN akan membahas tentang sosok lansia bernama Ibu Luh Ketut Suryani yang akrab disapa Suryani.
Perempuan berusia 77 tahun ini memiliki sebuah praktik konsultasi di kediamannya di Jalan Belimbing No 17, Denpasar, Bali.
Tempatnya diberi nama Suryani Institute of Mental Health.
Di tempat itu, ia banyak membantu orang-orang yang memiliki masalah kesehatan mental dengan cara konseling dan meditasi.
Baca juga: Sosok Angela Merkel, Kanselir Perempuan Pertama di Jerman yang Tegas
Ia juga selalu sabar dan penuh kasih saat bertemu dengan para pasiennya meski antrian panjang.
“Walaupun saya dokter, saya hanya ingin membantu banyak orang dengan melakukan meditasi. Saya mengambil sisi spiritual, jadi saya tidak boleh menolak orang yang datang. Kapan pun saya terima,” ujar Suryani seperti yang dilansir tabloid NOVA edisi 6-12 November 2017.
Dengan ramah, Suryani juga mempersilahkan siapapun untuk datang ke tempat praktiknya meski tidak mengidap masalah kesehatan mental.
“Kami semua berkumpul di sini untuk melakukan meditasi selama dua jam. Tak semua menderita penyakit kejiwaan, siapa pun bisa datang,” ujar perempuan kelahiran
Singaraja, Bali, tanggal 22 Agustus 1944 itu.
Merasa Bersalah Karena Tidak Bisa Menyelamatkan Pasien
Sebelum mendirikan tempat praktiknya, Suryani pernah mengalami kejadian tak mengenakan yang masih membayanginya.
Saat itu ia sedang menjalani program Neuropsychiatry dan mendapatkan pasien dengan keadaan fisik yang lumpuh, dari leher hingga ujung kaki.
Namun pasien tersebut berasal dari keluarga ekonomi yang kurang mampu sehingga tidak bisa membeli obat.
Baca juga: Hari Jantung Sedunia, Ternyata Segini Gaji Dokter Spesialis Jantung
“Tapi tidak ada pilihan lain untuk menyelamatkannya, hanya dengan obat itu,” cerita Suryani dengan mata berkaca-kaca dilansir dari sumber yang sama.
“Pasien itu bilang ke saya, ‘ibu saya sesak, sesak sudah sampai dada.’ Dia (akhirnya) meninggal dihadapan saya. Saya sedih, karena saya tidak bisa membantunya. Andai
saja saya punya uang untuk bisa beli obat itu, saya pasti bisa bantu dia,” tambah Suryani yang sedikit menyesal.
Sejak saat itu, Suryani bertekad untuk mennyelamatkan orang semaksimal mungkin.
Ketika memberikan konsultasi, Suryani tak komersil.
Ia tidak pernah menetapkan tarif tertentu.
Mereka yang datang berobat boleh membayar dengan biaya sukarela.
Sepak Terjang Suryani di Dunia Psikologi
Ibu enam anak ini mengaku sudah menyukai meditasi sejak usia 14 tahun.
Sebelumnya, ia menempuh pendidikan kedokteran di Universitas Udayana, Bali pada tahun 1972 ini.
Ketertarikannya di dunia psikologi semakin kuat saat ingin mengenal lebih dalam tentang dirinya.
Kemudian Suryani memilih karier sebagai Asisten Neuropsychiatry di universitas yang sama pada tahun 1974.
Lalu pada tahun 1981, saat akan melanjutkan kuliah S2 di jurusan psikologi, kemampuan Suryani diremehkan oleh profesor.
Baca juga: Sosok Mary Barra, CEO Perempuan yang Berpengaruh di Dunia Otomotif
“Dia mengatakan saya tidak mampu. Padahal selama tujuh tahun saya mengabdi, sudah banyak yang saya ubah, khususnya pasien syaraf. Lalu saya minta dia untuk menguji saya. Jika memang saya tidak mampu, saya akan keluar dari bidang ini,” Cerita Suryani dikutip dari tabloid NOVA.
Meski dianggap remeh, Suryani tak menyerah.
Ia bahkan tetap gigih dan melanjutkan pendidikan Masternya di Universitas Airlangga, Surabaya.
Suryani ingin membuktikan bahwa dirinya mampu mengambil kajian tersebut.
Apalagi kajian yang dipelajarinya berkaitan dengan ilmu psikologi dan budaya.
Suryani menggabungkan dua kajian tersebut, yakni modern dan tradisional, untuk menemukan ketenangan batin dan jiwa.
Perempuan yang kini telah meraih gelar profesornya itu percaya jika hasil penggabungan dua aspek tersebut, mampu menghasilkan pemulihan jiwa.
(*)