Duh, Sang Pengampu Bisa Merasa Tertekan saat Memenuhi Ekspektasi Orang

Shenny Fierdha - Jumat, 2 Juli 2021
Ilustrasi perempuan tipe Pengampu merasa tertekan karena berusaha memenuhi ekspektasi orang dan lingkungan
Ilustrasi perempuan tipe Pengampu merasa tertekan karena berusaha memenuhi ekspektasi orang dan lingkungan Freepik.com

Parapuan.co - Di dunia ini, ada sebagian orang yang bermimpi untuk memenuhi ekspektasi atau harapan dari dirinya sendiri.

Sementara, ada sebagian orang lainnya yang memiliki mimpi untuk memenuhi ekspektasi dari orang lain dan lingkungannya.

Menurut riset PARAPUAN yang dilakukan dari Januari sampai Maret 2021, orang khususnya perempuan yang bermimpi untuk memenuhi ekspektasi orang lain dan lingkungan adalah perempuan tipe Pengampu.

Data riset ini diperoleh dari wawancara mendalam terhadap 18 responden dan dari survei online terhadap 1.218 responden.

Semua responden adalah perempuan Indonesia yang berusia 18-35 tahun dengan berbagai tingkat pendidikan dan pekerjaan yang tinggal di kota maupun desa.

Riset ini menemukan bahwa perempuan tipe Pengampu adalah perempuan yang mengedepankan logika dan berusaha memenuhi ekspektasi orang lain dan lingkungan.

Baca Juga: Pengampu, Perempuan Logis yang Berusaha Memenuhi Ekspektasi Orang Lain

Bagi mereka, memenuhi ekspektasi orang lain dan lingkungan dapat membawa kebahagiaan bagi diri perempuan itu sendiri.

Selain itu, mereka pun berusaha memenuhi ekspektasi orang lain dan lingkungan terhadap dirinya demi menjaga perasaan orang lain dan lingkungan tersebut.

Namun, ada saja orang-orang yang mengkritik atau mencemooh perempuan tipe Pengampu jika perempuan ini gagal memenuhi ekspektasi orang lain dan lingkungan.

Agar tidak terjadi gesekan maupun konflik dengan orang-orang yang mengkritik atau mencemooh tersebut, sang Pengampu cenderung menghindari mereka.

Supaya Kawan Puan lebih tergambar dengan karakter perempuan tipe Pengampu, PARAPUAN berbincang dengan seorang perempuan bertipe ini.

Yuk, simak obrolan hangat dengan sang Pengampu berikut.

Memenuhi Ekspektasi untuk Menghindari Konflik

PARAPUAN berkesempatan berbincang dengan seorang perempuan tipe Pengampu bernama Talita Putriyanti (32) via sambungan telepon pada Rabu (30/6/2021).

Dia tinggal bersama suami dan putri kecilnya yang masih berusia tiga tahun di Medan, Sumatera Utara.

Ibu satu anak ini menilai bahwa dirinya berusaha memenuhi ekspektasi orang lain dan lingkungan sebab dia merasa ada tekanan dari sekitarnya untuk menuruti dan memenuhi ekspektasi tersebut.

"Mungkin karena tekanan, jadi saya merasa seperti tidak tenang kalau saya tahu ada harapan tertentu (dari orang lain dan lingkungan terhadap saya), tapi saya cuek atau tidak memikirkan (ekspektasi) itu," ujar Talita, Rabu.

Baca Juga: 5 Dampak Buruk dari Penuhi Ekspektasi Orang, Sang Pengampu Wajib Tahu

Tekanan tersebut membuat dirinya sering merasa tertekan atau terpaksa untuk memenuhi ekspektasi orang lain dan lingkungan, meski sering kali ekspektasi itu bertentangan dengan apa yang dia inginkan.

Adapun pihak yang paling sering memberikannya sejumlah ekspektasi untuk dipenuhi adalah orangtuanya sendiri.

Menurut perempuan kelahiran 29 April 1989 di Bandung, Jawa Barat ini, dia terpaksa memenuhi ekspektasi kedua orangtuanya untuk mencegah konflik dengan mereka.

"Karena itu merupakan cara termudah (untuk dilakukan) supaya tidak bertengkar (dengan orangtua)," ucap Talita.

Bagi Talita, yang kini berprofesi sebagai seorang penulis lepas (freelance writer), ada satu periode ketika dia merasakan banyak gejolak dalam dirinya akibat ekspektasi orangtuanya itu.

Periode tersebut terjadi sekitar tahun 2007.

"Saya merasa tertekan atau terpaksa (untuk mengikuti dan memenuhi ekspektasi orangtua), terutama sekitar tahun 2007, kayaknya," kata Talita.

Kala itu, dia baru saja duduk di bangku perkuliahan di suatu universitas negeri bergengsi di Bandung.

Baca Juga: Berhenti Menghindar, Pengampu Dapat Lakukan 5 Cara Ini saat Dikritik

"Tahun itu (2007) penuh gejolak. Saya ingin sekali membuat keputusan untuk diri sendiri, tapi saya tahu kalau (keputusan saya) bertentangan dengan orangtua, pasti jadi masalah," kenang Talita.

Namun, dia enggan menceritakan lebih detail mengenai keputusan dirinya yang bertentangan dengan ekspektasi orangtuanya tersebut.

Selain merasa tertekan atau terpaksa, dia pun merasa pasrah.

"Saya kayak pasrah mengikuti apa maunya orangtua saya, like, I totally gave up (saya benar-benar menyerah saat itu)," kata Talita.

Tuntutan sebagai Anak Pertama

Menurut dia, orangtuanya sering menaruh ekspektasi terhadap dirinya lantaran dia anak pertama dari tiga bersaudara.

Adik perempuannya kini berusia 30 tahun sementara adik laki-lakinya berumur 24 tahun.

Di keluarganya, ayah dan ibu menuntut anak sulung untuk bisa melakukan semuanya.

"Anak paling gede harus yang paling mengerti semua orang (dalam keluarga), harus selalu terlihat happy (bahagia), harus bisa menyelesaikan masalah di rumah, harus sekolah di sana atau di sini. Mungkin untuk membuat mereka bangga," terang Talita.

Selain itu, meski dia pun sering berhasil memenuhi ekspektasi orangtuanya, dia mengaku tidak merasa bahagia ketika ekspektasi tersebut terpenuhi.

Baca Juga: Bantu Sang Pengampu Menghadapi Kritik atau Cemoohan dengan 5 Cara Ini

Dia justru merasa bersalah terhadap diri sendiri sebab dia tidak memprioritaskan apa yang dia sendiri inginkan.

"Kayak, 'My parents are proud of me now' (orangtua saya sekarang bangga dengan diri saya). Tapi saya jadi berpikir, 'Terus kenapa? You're still a bad person to yourself (kamu masih menjadi orang yang buruk bagi dirimu sendiri)'," terang Talita.

Sementara, saat dirinya gagal memenuhi ekspektasi orangtuanya, dia merasa marah terhadap diri sendiri dan terhadap sang pemberi ekspektasi.

"Marah terhadap diri sendiri itu kayak, 'Kalau saya mau menuruti apa kata orang lain (ekspektasi orang tua), saya harus mampu melakukannya.' Kalau marah terhadap orang lain yang memberikan ekspektasi (orangtua), itu kayak, 'Siapa lo ngarepin gue untuk (melakukan) ini itu'," jelas Talita.

Bernegosiasi Walau pada Akhirnya Mengalah

Setelah bertahun-tahun mengalami perasaan tertekan dan marah terkait ekspektasi kedua orangtuanya, dia akhirnya memutuskan untuk berani mengemukakan pendapatnya kepada ayah ibunya.

Ini karena dia menyadari bahwa dia tak bisa terus-menerus memenuhi segala ekspektasi tersebut.

"Pada akhirnya saya menyadari bahwa tidak selamanya saya bisa memenuhi semua ekspektasi (orangtua) yang diletakkan di pundak saya. Jadi saya mulai berani speak up (mengemukakan pendapat sendiri)," ujar Talita.

Baca Juga: Karier Tipe Pengampu Stagnan Akibat Menarik Diri dari Masalah, Psikolog Sarankan Ini!

Meski tidak merinci pada tahun berapa tepatnya dia mulai berani mengemukakan pendapatnya sendiri kepada orangtuanya, namun dia mengungkapkan bahwa kini dia tidak serta-merta menuruti ekspektasi mereka.

Dia sekarang berupaya untuk bernegosiasi dengan orangtuanya setiap mereka meminta dirinya untuk memenuhi suatu ekspektasi tertentu.

"Kadang saya berusaha negosiasi (dengan orangtua) walau pada akhirnya saya lebih sering mengalah (dan menuruti ekspektasi mereka). Mengalah, ya, karena itu tadi, supaya tidak bertengkar (dengan orangtua)," tutup Talita.

(*) 

 

Sumber: Wawancara,white paper parapuan
Penulis:
Editor: Dinia Adrianjara