Tak Kalah Berbahaya dari Fisik, Berikut Dampak Kekerasan Verbal

Alessandra Langit - Minggu, 25 April 2021
Ilustrasi korban kekerasan
Ilustrasi korban kekerasan Freepik

Parapuan.co - Kekerasan dalam rumah tangga serta kekerasan kepada anak dan perempuan menjadi sorotan khusus masyarakat Indonesia.

Kita sering mendengar bentuk kekerasan fisik menjadi kasus yang sering terjadi, dengan dampak yang cukup terlihat.

Kawan Puan, apakah kamu tahu bahwa kekerasan verbal juga bisa memberikan dampak yang cukup traumatis pada korban?

Kata-kata tidak lebih ringan dibanding aksi fisik.

Baca Juga: Kekerasan Seksual Tak Pandang Gender, Pria Remaja di Probolinggo Jadi Korban Pemerkosaan

Melansir dari Brightside.me, sekitar 50% pria dan perempuan setidaknya pernah mengalami kekerasan psikologis dari pasangannya. 

Sekitar 20% perempuan pernah mengalami ancaman kekerasan fisik oleh pasangannya. 

40% orang pernah mengalami setidaknya satu bentuk ancaman dari pasangannya. 

Lewat statistik ini, ketahuilah bahwa kekerasan verbal dan psikologis juga sama berbahaya dengan kekerasan fisik.

Berikut adalah dampak kekerasan verbal terhadap kondisi mental seseorang.

‘Luka’ akibat kekerasan verbal membekas seumur hidup

Rasa sakit yang dirasa secara fisik tentu menyakitkan dan membekas. 

Namun, rasa sakit yang diakibatkan ucapan buruk seseorang di tempat kerja atau dalam suatu hubungan akan sulit untuk dilupakan. 

Penelitian menunjukkan bahwa rasa sakit emosional akibat pelecehan verbal dapat menghantui seseorang sepanjang hidup mereka. 

Hal yang lebih buruk adalah bahwa hanya dengan mengingat kejadiannya, dapat membuat kita merasakan kembali seluruh sakitnya.

Merusak kepercayaan diri dan kondisi mental seumur hidup

Jika kamu pernah berada dalam hubungan yang penuh kekerasan atau pernah mengalami kekerasan verbal sebagai seorang anak, kamu akan tahu bahwa traumanya tidak pernah meninggalkanmu. 

Pengalaman seperti ini cenderung merusak harga diri dan kepercayaan diri seseorang. 

Korban kehilangan semua rasa bangga dan cenderung membayangkan dirinya kurang berharga.

Baca Juga: Kekerasan Berbasis Gender Online Meningkat Selama Pandemi, Ini Dampaknya Bagi Penyintas

Tidak ada dukungan dari orang lain

Kekerasan fisik biasanya meninggalkan bekas fisik. 

Bayangkan sebuah situasi ketika kamu dipukuli di jalan, ada kemungkinan besar orang yang lewat akan berhenti dan turun tangan untuk menghentikan pemukulan, dan bersimpati kepadamu. 

Tetapi skenario ini hampir tidak terpikirkan jika seseorang melecehkanmu secara verbal. 

Bahkan penelitian menunjukkan bahwa meskipun orang bersimpati dengan rasa sakit fisik kita, mereka hampir selalu meremehkan penderitaan emosionalnya.

Dapat memicu eating disorder

Kekerasan emosional dapat menyebabkan penurunan keyakinan seseorang. 

Perasaan tidak mampu dan tidak dicintai juga bisa saja muncul. 

Hal tersebut dapat menyebabkan perilaku kacau dan impulsif, yang sering dikaitkan dengan eating disorder.

Menyebabkan sakit kepala

Kemungkinan migrain pada orang yang pernah mengalami pelecehan verbal dan emosional adalah 4 kali lebih tinggi daripada mereka yang tidak mengalami trauma tersebut. 

Rasa sakit adalah rasa sakit

Rasa sakit adalah rasa sakit, baik itu fisik maupun verbal. 

Kamu harus menerima dan memberikan validasi kepada sakit yang sudah kamu lewati.

 

Baca Juga: Begini Tanda-Tanda Pelecehan Emosional, Tanpa Sadar Sering Kamu Alami

Dapat menjadikan kamu pelaku

Hal terburuk dari menjadi korban kekerasan verbal dan emosional adalah kamu sendiri mungkin akan menjadi pelaku kekerasan. 

Melecehkan orang lain mungkin menjadi cara kamu menghadapi pelecehan yang kamu alami sendiri. 

Selain itu, kemungkinan besar anak-anak yang menjadi korban pelecehan akan tumbuh menjadi seorang kriminal.

Wah, semoga hal ini tidak terjadi pada Kawan Puan, ya. 

Kawan Puan, sekarang kita bisa sama-sama melihat bahwa dampak kekerasan verbal dan emosional sama berbahayanya dengan kekerasan fisik.

Pikirkan apa yang ingin kita katakan pada orang lain, pastikan kita tidak memberikan ancaman atau kekerasan verbal. (*)

Sumber: Brightsite.com
Penulis:
Editor: Maharani Kusuma Daruwati

Hari Lebaran Jadi Momen Memaafkan, Ini Manfaatnya bagi Kesehatan Mental