Parapuan.co - Hari Kemerdekaan bukan semata tentang mengingat perjuangan di masa lalu, di mana rakyat berjuang melawan penjajahan untuk mendapatkan kebebasan politik dan kedaulatan negara. Kemerdekaan juga tentang kebebasan individu untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan, tanpa dibatasi oleh diskriminasi gender.
Bagi perempuan, kemerdekaan berarti mampu berdiri sejajar dengan laki-laki di dunia kerja, pendidikan, politik, dan bahkan dalam ruang-ruang pengambilan keputusan strategis. Hal ini bukan sekadar tuntutan emosional atau gerakan simbolis, melainkan sebuah kebutuhan sosial yang mendukung terciptanya masyarakat yang adil, produktif, dan berdaya saing tinggi.
Di tengah arus globalisasi dan kemajuan teknologi yang menghapus batasan geografis, perempuan kini memiliki peluang lebih besar untuk membuktikan potensi dirinya. Namun, peluang itu akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan kesetaraan gender yang nyata. Kesetaraan yang memberi ruang bagi perempuan untuk berkembang tanpa terhalang stereotip, bias, atau aturan yang membatasi.
Padahal menurut penulis, kesetaraan gender bukanlah tentang siapa yang lebih unggul, melainkan tentang menciptakan tatanan sosial di mana setiap orang, tanpa memandang jenis kelamin, memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh, berkontribusi, dan menentukan masa depan.
Tapi faktanya, perempuan masih mengalami diskriminasi dan kesenjangan baik dalam kehidupan pekerjaan, pendidikan maupun rumah tangga. Misalnya saja di Jawa Tengah, rata-rata anak perempuan hanya menempuh pendidikan hingga tingkat Sekolah Menegah Pertama (SMP).
Rata-rata lama sekolah perempuan hanya 7,63 tahun atau setara kelas 1 SMP. Hal ini disampaikan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindingan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP3KB), Jawa Tengah, Ema Rachmawati.
"Ini adalah bentuk diskriminasi yang masih terjadi dalam dunia pendidikan kita. Harusnya ini menjadi pehatian bersama," ujarnya dikutip dari Kompas.
Baru-baru ini juga terkuak kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Banyuwangi, Jawa Timur yang melibatkan anggota DPRD. SA yang merupakan tersangka KDRT justru tak ditahan dan masih bebas berkegiatan. Padahal dirinya sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak Juni 2025.
Sebelumnya, SA dilaporkan sang istri, KR, pada Januari 2025 lalu di Polrestas Banyuwangi. Namun berdasarkan bukti yang ada, pelaku dinyatakan bersalah. Apa yang terjadi pada KR ini seakan menjadi wujud bahwa perempuan masih rentan terhadap diskriminasi hukum.
Kawan Puan, kasus ini hanyalah contoh kecil dari banyak perempuan sering mendapatkan diskriminasi dari berbagai lini. Perempuan lebih rentan menjadi korban karena sering kali tidak memiliki cukup perlindungan hukum atau mekanisme pengaduan yang memadai.