Parapuan.co – Sepanjang Januari hingga Maret 2021, PARAPUAN melakukan survei untuk membuat whitepaper bertajuk Perempuan Indonesia, Ambil Alih Kembali Kendali Mimpimu.
Bicara mengenai kendali atas mimpi diri, ada empat tipe perempuan. Keempat tipe itu adalah Pengembara, Pengelola, Pengabdi, dan Pengampu.
Hasil studi kualitatif memperlihatkan perbedaan keempat tipe perempuan tersebut. Pengelompokan dilihat dari cara mimpi diri mewujud dan diwujudkan, termasuk apakah pengambilan keputusan lebih mengedepankan perasaan atau logika.
Baca Juga: 4 Tipe Perempuan dalam Mewujudkan Mimpi, Kamu yang Mana, Kawan Puan?
Salah satu dari empat tipe itu adalah Pengelola, yakni tipe perempuan yang punya kendali penuh atas mimpinya, berorientasi pada diri sendiri, serta mengedepankan logika dalam hal pengambilan keputusan.
Tipe Pengelola, menempatkan diri sendiri sebagai orientasi mimpi-mimpinya, yakni untuk kesenangan atau pembuktian diri.
Tipe Pengelola lebih realistis soal mimpi-mimpi itu, seperti mematok target jenjang karier, punya aset, atau menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu.
Mereka adalah perempuan yang mampu menyusun skala prioritas dalam pencapaian mimpinya.
Contoh nyata perempuan tipe Pengelola ini adalah Nenden Anne, seorang manajer di perusahaan alat kesehatan, yang juga salah satu dari Kawan Puan.
Berikut kisah perjuangan Nenden Anne, seperti yang ia kisahkan pada PARAPUAN.
Kalau ditanya soal mimpi, setiap perempuan pasti punya impian.
Tapi kalau saya sendiri, saya punya mimpi yang bisa dibilang juga keinginan sepanjang hidup, yakni tidak ingin nyusahin orang.
Ya, saya tidak ingin menyusahkan atau merepotkan orang lain di sekitar. Saya ingin, apa yang saya inginkan atau ingin raih, harus dari usaha sendiri.
Saya pun tidak mau masalah dalam hidup membebani orang di sekitar. Pada intinya, saya tidak ingin buat orang lain repot.
Bisa dibilang juga kalau saya ini perempuan yang self-oriented atau mengutamakan diri sendiri dan menempatkan diri sendiri sebagai orientasi mimpi-mimpi saya.
Dimulai sejak lulus kuliah, saya mulai setting goal untuk menjadi seorang yang sukses, lebih dari orang tua saya yang seorang karyawan pabrik.
Saya pun mulai melakukan pekerjaan pertama saya di sebuah pabrik industri makanan. Saya bekerja sebagai leader quality control di pabrik industri makanan pada tahun 2013.
Pekerjaan saya tidak bisa dibilang mudah. Saya pernah menjalani pekerjaan shift, yang salah satu shift-nya adalah masuk jam 11 malam dan selesai di jam 7 pagi.
Saya bahkan pernah bekerja 12 jam lebih selama shift. Itu semua saya lakukan karena ingin sukses, punya uang banyak, dan memuaskan diri sendiri.
Beberapa tahun berikutnya, berkat kerja keras dan tekad untuk membuktikan diri pada orang tua bahwa saya mampu bekerja dan berkarier dengan usaha sendiri, saya naik jabatan jadi supervisor. Saya pun bekerja lebih keras lagi.
Hingga kemudian mama sakit. Saat Mama sakit itulah, saya mulai punya goal yang lebih jelas yakni menjadi seorang manajer sebelum usia 30 tahun.
Saya bilang pada mama, “Mama harus sehat, Mama harus sembuh biar bisa lihat saya jadi manajer.”
Namun takdir berkata lain, mama meninggal sebelum sempat melihat saya jadi manajer.
Hancur dan sedih sudah pasti, namun saya tidak mau terpuruk. Saya lebih fokus dan giat bekerja lagi untuk bisa menjadi manajer.
Kesempatan datang saat saya pindah ke perusahaan lain di Bandung. Saya mendapat tawaran sebagai manajer di perusahaan alat kesehatan yang notabene jauh berbeda dengan bidang industri makanan yang saya geluti enam tahun ke belakang.
Tapi saya ingat bahwa manajer adalah posisi yang saya inginkan. Cita-cita dan janji pada mama harus diwujudkan. Saya bakal merasa puas dan berhasil jika bisa mendapatkan jabatan ini.
Pada akhirnya saya ambil posisi manajer di perusahaan alat kesehatan di Bandung. Saya pun mendapat kesempatan menikah dengan seorang laki-laki di tahun 2019.
Namun di tengah jalan mewujudkan impian untuk menjadi seorang manajer sebelum usia 30 tahun, prahara datang dari rumah tangga.
Suami ketahuan selingkuh di saat saya harus melakukan audit penting sebagai manajer di perusahaan tempatku bekerja.
Kacau, pikiran otomatis terbelah antara pekerjaan atau kehidupan rumah tangga.
Tapi saya sadar, posisi manajer ini adalah cita-cita dan impian yang saya inginkan sejak dulu. Cita-cita yang akan menjadi pembuktian diri saya ke orang tua kalau saya bisa sukses, terutama bapak yang kini tinggal sendiri pasca kepergian mama.
Baca Juga: Tak Suka yang Lemah, ini 10 Tipe Perempuan yang Disukai Pria Narsistik
Saya tidak mau, perselingkuhan suami menghentikan langkah saya dalam meraih mimpi. Saya perempuan, saya sadar saya punya mimpi, dan saya harus pegang kendali atas mimpi saya sendiri.
Saya pun berangkat ke tempat audit, pikiran saya fokuskan ke pekerjaan dan mengesampingkan urusan rumah tangga.
Saya tidak mau impian selama ini hancur karena peristiwa yang tiba-tiba terjadi. Saya akan terus berada di jalan saya mewujudkan mimpi.
Beruntung, audit berjalan lancar dan saya bahkan diterima sebagai manajer tetap di perusahaan tempat bekerja, tanpa harus presentasi ke headquarter di Eropa sebagai syarat lulus probation.
Lega, saya puas bisa memegang kendali atas mimpi dan hidup saya dengan meraih jabatan yang sejak dulu diinginkan.
Baru setelah itu, saya mulai bicara dengan suami. Tidak dimungkiri kalau saya cinta dengan dia.
Namun kembali saya tersadar bahwa saya adalah manusia, saya adalah diriku yang utuh, yang punya jiwa dan raga ini.
Maka saya berpikir, “Jangan sampai saya dikontrol oleh orang lain. Jangan sampai suami mengambil alih, merampas kehidupanku, dan menjebakku dalam kehidupan rumah tangga yang toksik.
“Saya harus berani ambil sikap. Saya tidak mau terus-terusan diselingkuhi suami dan perasaan saya dipermainkan olehnya.”
Maka pada akhirnya, saya memutuskan untuk berpisah. Saya katakan, “Cukup, saya nggak bisa terus sama kamu, saya mau kita berpisah saja.”
Maka, sudah resmilah saya berpisah dengan suami yang tidak ada satu tahun saya nikahi.
Menyesal mungkin ada, namun saya tidak terlarut dalam pikiran buruk. Pikir saya, “Menikah dengannya adalah keputusan yang dulu saya ambil, maka saya harus terima risiko jika memang saat ini kami harus berpisah.”
Sebenarnya bukan karena alasan selingkuh saja, saya menceraikan suami. Selama pernikahan kami, ia adalah orang yang manipulated. Dia selalu memanipulasi. Ia pernah berkata, “Saya nggak mungkin selingkuh kalau kamu bisa jadi istri yang baik.”
Jujur saat ia mengatakan itu saya ter-trigger, hingga saya menanyakan self-worth saya. “Apa iya, saya kurang baik jadi istri?”
Baca Juga: Wah, Bucin Ternyata Jadi Tanda Adanya Inner Child yang Terluka, Lho!
Namun setelah mengetahui selingkuh adalah bagian dari hidupnya, karena ia selingkuh dengan tidak hanya satu perempuan saja, maka saya sadar itu bukan salah diri saya.
Saya ambil sikap dengan kembali memegang kendali atas hidup. Kembali saya berpikir, “Saya ini manusia loh, saya ini perempuan. Saya ini seorang yang utuh.
"Diri dan hidup ini adalah milik saya, jadi saya yang berhak mengambil kendali atas hidup. Saya tidak mau orang lain mengontrol pikiran maupun tubuh saya.”
Maka tidak ada penyesalan berikutnya ketika saya sudah berpisah dengannya.
Justru, saya merasa lebih bahagia, lebih tenang, dan saya menemukan diri ini yang dulu, seorang Nenden yang hangat, ceria, fokus pada impiannya, dan dekat dengan keluarga serta teman.
Dimana saya menyadari sosok Nenden yang hangat dan ceria itu hilang selama pernikahan. Saya merasa saya yang kemarin bukan sejatinya saya.
Kini, saya sudah kembali memfokuskan pikiran pada pekerjaan, karena ada goal berikutnya yang mau saya capai dalam lima tahun mendatang.
Saya ingin dalam lima tahun mendatang, saya bisa menjadi manajer yang bisa handle beberapa cabang perusahaan di berbagai negara.
Sekarang ini saya pegang jabatan manajer perusahaan masih 1 ½ tahun.
1-2 tahun ke depan saya belajar dan memahami segala hal yang dibutuhkan di posisi ini. Misalnya jadi manajer yang baik itu untuk apa, apa yang diperlukan sebagai manajer, dan sebagainya.
Lalu 3 sampai 4 tahun mendatang mengembangkan kemampuan yang dimiliki, dan 5 tahun bekerja, saya mulai mewujudkan cita-cita untuk menjadi manajer yang handle beberapa cabang perusahaan sekaligus.
Pesan saya untuk perempuan di luar sana, “Jangan pernah takut mengambil sikap. Termasuk mengambil sikap untuk mengakhiri hubungan dengan pasangan jika sudah tidak bahagia.
“Kita perempuan berhak bahagia, memegang kendali atas mimpi dan kehidupan kita. Maka jangan ragu mengambil sikap. Tanamkan mindset positif karena dengan begitu kamu bisa lebih berkembang.”
Baca Juga: [KUIS] Tipe Perempuan dalam Mewujudkan Mimpi, Kamu yang Mana?
(*)