Minimnya Peran Laki-Laki dalam KB, Inilah Mitos tentang Vasektomi

Tim Parapuan - Rabu, 7 Mei 2025
Ilustrasi vasektomi
Ilustrasi vasektomi Shutterstock

Parapuan.co - Di Indonesia, isu keluarga berencana (KB) selama ini kerap diidentikan sebagai tanggung jawabnya perempuan. Ketika mendengar kata KB, yang terbayang hampir selalu adalah pil, suntik, implan, atau IUD yang semuanya merupakan alat kontrasepsi untuk perempuan. 

Padahal, perencanaan keluarga adalah tanggung jawab bersama. Sehingga dibutuhkan juga peran laki-laki untuk berkontribusi aktif dalam merencanakan anak dalam keluarga.

Namun, mengutip Kompas.com, hanya ada dua metode kontrasepsi yang tersedia untuk laki-laki, yaitu kondom dan vasektomi. Kendati demikian, keduanya tidak populer.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengungkapkan partisipasi laki-laki dalam program keluarga berencana (KB) masih sangat rendah, pada tahun 2023 hanya menyentuh angka 3% secara nasional.

Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut persentase pasangan usia subur 15-49 tahun yang memilih vasektomi pada 2023 hanya 0,21%. Tindakan vasektomi hanya terfokus di Jawa serta sebagian provinsi di Sumatera dan Kalimantan. Jumlah vasektomi tertinggi ada di DI Yogyakarta sebesar 0,48% dan DKI Jakarta 0,42%, sedangkan prevalensi vasektomi di 23 provinsi dari 34 provinsi mendekati nol atau datanya tidak tersedia.

Sementara itu, alat kontrasepsi untuk perempuan, dari pil, suntik, hingga IUD masih mendominasi. Perempuan tetap menjadi tulang punggung dalam program KB nasional, baik dari sisi kebijakan, edukasi, hingga praktik lapangan.

Ini bukan sekadar soal angka. Ketika perempuan memikul beban mayoritas dalam KB, ada dampak nyata yang mereka tanggung. Alat kontrasepsi hormonal bisa menyebabkan perubahan mood, jerawat, naiknya berat badan, hingga risiko lebih serius seperti trombosis atau masalah kesuburan jangka panjang.

Lebih dari itu, ada tekanan sosial yang membuat perempuan merasa harus patuh pada anjuran KB, demi keluarga, suami, atau sekadar dianggap bertanggung jawab. Akibatnya, banyak perempuan yang menggunakan kontrasepsi meski merasa tidak cocok secara fisik atau mental.

Dalam banyak kasus, keputusan KB sepenuhnya berada di tangan suami, tetapi tubuh yang harus beradaptasi dan menanggung efeknya tetaplah perempuan.

Lantas mengapa laki-laki masih enggan untuk mengambil bagian dalam KB?

Baca Juga: Mitos dan Fakta Vasektomi, KB Pria yang Masuk Program Kemendukbangga

 

Menurut Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi, dr. Keven Pratama Manas Tali, SP.OG, rendahnya partisipasi laki-laki disebabkan oleh minimnya edukasi serta banyaknya mitos yang keliru. Mitos yang paling banyak beredar ialah vasektomi yang masih dianggap setara dengan kebiri. 

Banyak yang mengira vasektomi akan membuat laki-laki kehilangan hormon testosteron, kehilangan gairah seksual, atau bahkan mengalami disfungsi ereksi. Padahal, fakta medis menyatakan bahwa vasektomi hanya memotong atau menutup saluran vas deferens, sehingga sperma tidak keluar saat ejakulasi. Prosedur ini tidak mengganggu produksi hormon, kemampuan ereksi, atau kenikmatan seksual.

Ada anggapan keliru bahwa laki-laki yang menjalani vasektomi dianggap kurang maskulin atau tidak mampu memimpin rumah tangga. Dalam budaya patriarkal, pengambilan keputusan untuk tidak memiliki anak lagi seolah bertentangan dengan citra laki-laki sebagai kepala keluarga.

Beberapa laki-laki juga beranggapan prosedur vasektomi menyakitkan dan berbahaya. Nyatanya, sebagian besar vasektomi dilakukan dengan prosedur minimal invasif dan menggunakan anestesi lokal.

Prosedur ini hanya memakan waktu 15–30 menit dan pasien bisa pulang di hari yang sama. Risiko komplikasi sangat rendah, dan waktu pemulihannya relatif singkat. Dibandingkan dengan tubektomi (operasi kontrasepsi permanen untuk perempuan), vasektomi jauh lebih aman dan ringan.

Tak hanya itu, ditemukan stigma sosial bahwa laki-laki yang memakai kondom dianggap tidak maskulin, atau bahkan tidak percaya diri dalam hubungan. Persepsi-persepsi inilah yang membuat banyak laki-laki memilih diam, menyerahkan urusan KB kepada istri mereka.

Ironisnya, sebagian besar laki-laki tidak keberatan jika istri mereka menggunakan kontrasepsi dengan efek samping signifikan, tetapi menolak metode yang tidak berdampak besar pada tubuh mereka sendiri.

Bagi banyak perempuan, ketimpangan ini terasa tidak adil. Di satu sisi, mereka diminta bertanggung jawab atas jumlah anak, jarak kelahiran, dan kondisi ekonomi rumah tangga. Tapi di sisi lain, mereka juga harus menanggung risiko kesehatan sendiri karena minimnya alternatif dari pihak laki-laki.

Baca Juga: Ketimpangan Gender dalam Kontrasepsi: Jangan Hanya Dibebankan pada Perempuan

Dalam berbagai diskusi komunitas perempuan, isu KB seringkali muncul bersamaan dengan ketidaksetaraan dalam relasi suami-istri. Perempuan yang ingin berhenti menggunakan kontrasepsi karena alasan kesehatan seringkali menghadapi tekanan atau dianggap egois.

Untuk memperbaiki situasi ini, diperlukan pendekatan yang menyeluruh. Edukasi mengenai KB seharusnya tidak hanya menyasar perempuan, tapi juga pria. Materi edukasi di Puskesmas, rumah sakit, dan media massa perlu mengangkat informasi tentang kondom dan vasektomi sebagai metode KB yang valid, aman, dan efektif.

Keterlibatan figur publik laki-laki, seperti dokter, tokoh agama, hingga influencer, yang bersedia terbuka berbicara tentang pentingnya peran pria dalam program KB. Normalisasi peran pria sebagai mitra aktif KB bisa mengubah budaya diam dan menyerahkan tanggung jawab kepada perempuan.

Perencanaan keluarga bukanlah pekerjaan satu pihak. Ketika pria dan perempuan sama-sama mengambil peran, beban emosional dan fisik bisa terbagi lebih adil. Ini bukan hanya tentang alat kontrasepsi, tapi juga tentang membangun hubungan yang saling mendukung, berbasis rasa hormat, dan kesadaran bersama akan pentingnya kesehatan reproduksi.

Baca Juga: Kelebihan dan Risiko Vasektomi, Kontrasepsi Pria yang Bakal Dilakukan Anji Pasca Cerai

 

 (*)

Celine Night

Sumber: Kompas.com,bps.go.id
Penulis:
Editor: Citra Narada Putri