Parapuan.co – Kawan Puan, memilih bertahan atau melepaskan hubungan di bawah tekanan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sama-sama sulit.
Seperti diketahui, KDRT bisa berupa dalam berbagai bentuk, mulai dari kekerasan fisik sampai kekerasan emosional.
Namun, sampai sekarang masih banyak korban KDRT menyembunyikan masalah yang ia alami dengan berharap pelaku akan berubah.
Harapan tersebut muncul terlebih jika dalam sebuah rumah tangga sudah memiliki anak.
Selain munculnya pilihan bertahan demi anak, jawaban pelaku yang mengaku khilaf atau menjanjikan tidak akan pernah melakukannya lagi tidak cukup untuk perubahan pasti.
Pelaku kekerasan dalam rumah tangga memang memiliki potensi untuk mengubah sikapnya, tetapi hal tersebut sulit dan butuh komitmen untuk merealisasikannya.
Agar pelaku kekerasan dapat membuat perubahan pasti, mereka harus mengidentifikasi akar penyebab kekerasan dalam rumah tangga dan menyembuhkannya.
Perlu diketahui, penyebab seseorang menjadi pelaku KDRT pun beragam, mulai dari trauma masa kecil atau menormalisasinya sejak lama.
Pikiran yang menyimpang adalah penyebab umum KDRT, dan mengendalikan pikiran ini dapat membantu pelaku untuk mengelola emosinya.
Baca Juga: Jadi Penyintas KDRT, Dini Surya Bagikan Tips Bangkit dari Trauma di Arisan Parapuan 9
Untuk belajar mengelola emosi, sangat penting mendapatkan bantuan profesional dari psikolog atau konselor.
Sebaliknya, jika seseorang hanya berjanji tidak melakukan lagi tetapi tidak ada usaha untuk berubah, kekerasan masih memiliki potensi untuk terulang lagi.
Bisakah hubungan masih bisa diselamatkan setelah terjadi KDRT?
Seperti yang dikutip dari Marriage, terkait masalah dapatkah suatu hubungan diselamatkan setelah kekerasan dalam rumah tangga, kamu harus tahu masalah utamanya.
Para ahli cenderung percaya bahwa kekerasan dalam rumah tangga biasanya tidak menjadi lebih baik.
Pasalnya, korban dapat merasakan was-was atau dalam keadaan siaga ketika terjadi konflik dalam rumah tangga.
KDRT bisa berulang
Selain itu, kekerasan dalam rumah tangga juga merupakan siklus yang artinya terjadian kekerasan tersebut bisa berulang kembali.
Siklus dimulai dengan ancaman bahaya dari pelaku, diikuti oleh ledakan kekerasan dari pelaku secara fisik atau verbal menyerang korban.
Baca Juga: Kenali 4 Jenis Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga
Setelah itu, pelaku akan mengungkapkan penyesalan, berjanji untuk berubah, dan bahkan menawarkan hadiah.
Terlepas dari janji perubahan, pada saat pelaku menjadi marah saat berkonflik dengan korban, siklus itu kembali berulang.
Menjanjikan untuk berubah adalah langkah awal, tetapi berjanji saja tidak akan membantu seseorang untuk berubah.
Jika pelaku berkomitmen untuk menghentikan kekerasan, mereka akan menjalani pengobatan, terapi, sekaligus menerapkan perilaku lebih positif.
Perubahan konsisten dari pelaku
Hubungan bisa diselamatkan ketika pelaku benar-benar mendapatkan bantuan untuk menghentikan perilaku kekerasan dan menunjukkan perubahannya.
Di sisi lain, ada situasi di mana pelaku tidak dapat berubah. Jadi, tetap bersama setelah kekerasan dalam rumah tangga bukanlah pilihan terbaik.
Memang banyak yang dipertimbangkan sebelum memutuskan, kuncinya adalah konsistensi perubahan perilaku.
Setelah terjadi KDRT, cobalah membuat batas dengan pelaku untuk sementara waktu dan biarkan mereka introspeksi diri.
Baca Juga: Simak 7 Mitos Tentang Kekerasan Domestik yang Perempuan Harus Tahu
Jika perilakunya berangsur-angsur berubah dan lebih terkendali, terutama saat konflik, hubungan akan bisa diselamatkan.
Sebaliknya, jika siklus kekerasan terulang lagi dan lagi, artinya hubungan tidak bisa diselamatkan karena emosi pelaku tidak terkendali.
Jadi, jawaban dapatkah suatu hubungan diselamatkan setelah kekerasan dalam rumah tangga akan berbeda-beda untuk setiap hubungan.
Sebab, perubahan ini tidak akan terjadi dalam semalam dan akan membutuhkan kerja keras yang serius dari pelaku.
Namun jika Kawan Puan ingin mencari pendapat sekaligus pendapat dari pihak ketiga, kamu bisa mencari bantuan konselor pernikahan ya! (*)