Love Yourself
B***** - 10 Mei 2023

Dear Parapuan,

Izinkan saya berbagi sepotong kisah hidup saya di sini.

Kisah ini jauh dari indahnya cerita drama, namun saya berharap semua hal baik maupun buruknya dapat diambil maknanya sebagai pembelajaran.

Semua berawal dari pertemuan saya dengan seorang pria. Saat itu, kami merasakan banyak kesesuaian, sehingga kami memutuskan untuk berpacaran.

Namanya kisah cinta, pasti selalu indah pada awalnya. Sebagai pasangan muda, kami senang menjelajah ke banyak tempat hanya sekedar untuk wisata kuliner, berburu tempat foto Instagramable, atau sekedar healing.

Saat itu, saya merasa hidup begitu sempurna. Bagaimana tidak? Saya memiliki keluarga yang bisa menjadi support system, pacar pengertian, dan pekerjaan atau karier juga memadai.

Saya bersyukur dengan semua itu.

Hari demi hari, kita sudah semakin nyaman satu sama lain. Sebegitu nyamannya hingga dia mulai mengeluarkan perangai aslinya, yakni suka mengatai saya dengan kata-kata yang kurang mengenakkan di hati.

Sebetulnya bukan kata-kata kasar dan sumpah serapah, hanya seperti saat saya lupa menyimpan suatu barang, dia akan berkata "Sifat pelupa kamu ini bahaya banget sih."

Pernah juga dia berkata:

"Kamu tau sendiri kalau kamu itu jorok", saat saya melakukan hal yang tidak sesuai standarnya.

Saat saya menyimpan piring yang kebetulan ada sendok di atasnya hingga timbul bunyi gemerincing, dia langsung bilang "Kamu memang ga bisa ya ga pelan, kamu itu marah atau gimana sih? Ga sopan banget kamu kesannya."

Awalnya, saya masih bisa menerima dan menganggap kata-kata dari mulutnya sebagai angin lalu.

Sayangnya, semakin lama, berbagai hal kecil jadi dipermasalahkan secara terus-menerus sehingga secara perlahan mulai menggerus kestabilan mental saya.

Saya mulai mempertanyakan diri saya sendiri setelah dibombardir dengan segunung 'label' yang ia tempelkan pada saya.

"Sebegitu joroknya kah saya?"

"Saya ini kan pelupa parah dan pikun."

"Saya bodoh."

"Saya orang tidak sopan."

"Saya serampangan, kikuk, gegabah dan ceroboh."

Masih banyak label lain darinya yang membuat kualitas diri saya menurun. 

Saya merasa saya orang yang berbahaya saat dekat dengan orang lain karena sering dianggap trouble maker alias kerjanya cari masalah.

Saya takut mendapat lebih banyak label lagi dari orang lain. Semua itu membuat diri saya seperti gelas yang sudah retak dan bisa luluh lantak kapan saja jika diberi air panas walaupun sedikit.

Saya mulai menarik diri dari pergaulan dan lebih banyak mengurung diri di kamar. Suasana hati saya cukup buruk waktu itu, hingga pada akhirnya saya hanya bisa menangis sendirian.

Saya tidak sanggup bercerita ke orang lain karena saya pikir semua orang juga punya masalah. Intinya saya tidak mau membebani orang dengan masalah saya.

Setelah menjelang 3 tahun bersama, dia mengajukan lamaran pertunangan pada saya dan keluarga. Dan di situlah titik balik kembalinya kewarasan saya.

Saya berpikir, bahwa sanggupkah saya hidup seperti ini bersama dia selamanya? Kuatkah saya?

Jelas ini pilihan sulit yang harus saya pertimbangkan berhari-hari lamanya karena kami sudah lama bersama. Keluarga kami sudah saling kenal dan semua kisah perjuangan ini rasanya tidak layak untuk dilepaskan begitu saja.

Pada akhirnya, saya memutuskan tidak. Saya tidak akan mampu hidup dengannya. Ya, saya memilih untuk menolak lamaran dia dan mengemukakan alasannya.

Bagaimana reaksinya? Oh, jelas dia marah besar. Dia bilang saya terlalu sensitif sehingga otak saya tidak bisa menyaring mana yang bercandaan dan tidak.

Menurutnya, saya salah karena menelan mentah-mentah semua kalimat yang pernah dilontarkan.

Tapi saya merasa cukup. Saya ingin kembali ke kehidupan normal, saat bisa tertawa lepas dan bebas bersikap tanpa harus paranoid lagi memikirkan kata orang. Nyatanya, semua itu saya dapatkan kembali setelah kami berpisah.

Wah, ternyata hidup menjomblo itu rasanya enak sekali, ya! Ha-ha.

Hidup rasanya enteng, tidak ada beban, dan saya kembali jadi diri sendiri.

Hidup sendiri bertahun-tahun lamanya sampai saya bertemu pria lain yang menjadi suami saya saat ini.

Pria yang menganggap semua kecerobohan, kesleboran dan sifat pelupa saya lucu dan 'gemesin'.

Kalau saya salah, ia mengingatkan kesalahan saya dengan tutur kata baik dan nasihat lembut. Jujur, saya merasa tersentuh karena itu.

Well, jika ditelaah lagi saya sangat bersyukur dengan pilihan saya waktu itu.

Jika saya salah memilih, mungkin saya masih terjebak dalam toxic relationship dan mungkin kondisi mental juga makin terpuruk.

Cintai diri sendiri maka orang lain akan mudah mencintai dirimu. Selalu anggap dirimu berharga dan jauhi toxic people, ya!

Dijawab Oleh

Admin Parapuan

Halo, Kawan Puan!

Terima kasih sudah mau berbagi pengalaman di Ruang Cerita PARAPUAN, ya! <3

Saat membaca ceritamu, MinPuan jadi teringat salah satu artikel di Parapuan.co.

Pada dasarnya, ada 23 kalimat yang sebaiknya pasangan (maupun kita) tidak melontarkannya dalam hubungan karena terkesan "kejam" dan "kasar". 

Memang, pasangan sebelum suamimu bertujuan baik untuk mengingatkan. Tetapi, perbedaan pola komunikasi yang membuat dirimu seolah didominasi oleh pasangan. 

Perlu diingat! Dalam sebuah hubungan, "setara" menjadi hal yang sangat penting karena akan membuat hubunganmu langgeng. 

Oh iya, "setara" bukan hanya soal materi, tetapi juga cara berkomunikasi. 

Syukurlah, Kawan Puan sudah terlepas dari hubungan beracun tersebut. Terima kasih sudah menyadari bahwa kamu berharga! ({})