Love Yourself
K***** - 4 Mei 2023

Halo, semua. Izinkan berbagi sedikit cerita untuk PARAPUAN. 

Semoga dengan bercerita, kepedihanku yang selama ini terpendam menjadi sedikit berkurang. 

Saat ini aku berusia 25 tahun, berasal dari desa kecil di padalaman Kalimantan Barat. 

Tahukah kalian? Dirundung orang lain memang menyakitkan, tetapi dirundung keluarga sendiri, sakit dan pedihnya tak bisa dijelaskan. 

Aku anak ke 4 dari 5 bersaudara, aku dan adiku adalah saudara kandung dari ibu yang sama. Sedangkan, 3 kakakku dilahirkan oleh ibu berbeda.

Ayahku menikahi ibuku (gadis) di tahun 1997, tentunya saat itu ayahku duda beranak 3 (2 anak laki-laki dan 1 perempuan). Dari kecil, aku memanggil mereka dengan panggilan abang dan kakak.

Di tahun 2014, ayah meninggal dunia usai melawan diabetes dan komplikasi penyakit lainnya selama 5 tahun terakhir. 

Semenjak ayah meninggal, hati menjadi hening, pecah, rusak, ringkih, dan sakit yang tak bisa dijelaskan. Kepergian ayah menjadi titik terberat dalam hidupku, rundungan juga mulai aku terima.

Aku pergi kuliah ke Ibu Kota untuk menjalankan wasiat ayah kepadaku, hingga harus meninggalkan ibu serta adikku di kampung.

Selama berkuliah di jurusan teknik kampus ternama Ibu Kota kami, ibu adalah satu-satunya penopang hidup kami. Ibu rela menjadi "ibu kantin" dan berjualan kudapan di sekolah. Saat itu, berbagai hinaan datang dari keluarga kami. 

Ada banyak cacian yang masih aku ingat, bahkan hingga detik ini.

"Anak perempuan ngapain kuliah, palingan bunting pas kuliah."

"Sok banget kuliah, makan aja susah."

Masih banyak kalimat menyakitkan yang sering aku dan ibuku dengar. 

Memang saat aku berkuliah ada banyak kesulitan, seperti biaya kuliah per semester yang tidak murah, uang seragam, dan buku paket adikku menunggak. Tak mengherankan cacian tersebut semakin menjadi-jadi. 

Tahun berjalan, aku perlahan menerima ketetapan Allah kepadaku dan keluarga, sembari berdoa agar almarhum ayah tenang di sana.

Ibu selalu menguatkan hati dan perasaannya agar kami berlima juga kuat. Meski begitu, aku tetap heran, mengapa ibu selalu diam dan tidak membalas sepatah kata rundungan tersebut. 

Mungkin karena ibu berpikir dirinya seorang janda sehingga tidak mudah baginya menjalani hidup? Terlebih abang dan kakak sudah sibuk dengan kehidupan mereka. 

Singkat cerita, beberapa tahun saat aku berkuliah, ibu memutuskan menikah lagi dengan orang lain. Tentunya ini tidak mudah untukku mengizinkan dan melepaskannya pergi, sulit dan sedih mendalam. 

Meski mengiyakan, aku tetap mengkhawatirkan banyak hal, termasuk ketika ibu sudah memulai rumah tangga barunya.

Aku akui, ayah baru yang menikah dengan ibu adalah laki-laki baik dengan ilmu agama cukup kuat. Namun, perasaan tidak nyaman tetap kurasakan, apalagi ibu dan ayah baru tinggal di rumah kediaman kami peninggalan almarhum ayah kandung. 

Lagi dan lagi hinaan kami terima dari anggota keluarga terdekat. 

"Menikah lagi ngapain? Hidup juga gini-gini aja dan enggak jadi kaya."

"Anak udah gede, nikah lagi enggak malu?"

"Tuh, nikah lagi malah makin susah, kan."

Apa salah kami, Tuhan? 

Untungnya, sekian tahun semua membaik. Keuangan membaik dan adikku mulai berkuliah dengan pilihan yang ia inginkan. Aku, ayah baru, dan ibu, benar-benar berjuang membiayai kuliah adikku, sembari memastikan hatinya fokus pada kuliah. Intinya, dukungan penuh untuk adikku. 

Selain support biaya, aku juga berusaha menjadi teman yang sangat nyaman untuknya, menjadi pendengar setia, hingga membantu dan mengerahkan tenaga untuk adikku. 

Usaha tak berkhianat pada hasil, adikku meraih nilai sempurna di semester perkuliahannya! :D

Sayangnya, takdir Allah berkata lain. Ayah baru yang baru 7 tahun masuk ke keluarga kami, meninggal secara mendadak. Ibu kini sendiri lagi dengan luka begitu mendalam, terlihat dari matanya yang sayu. 

Seketika, keputusan sulit dihadapkan padaku. Aku harus menemani ibuku di kampung hingga 40 hari. Saat itu, ku tinggalkan pekerjaan, pasangan, dan semua aktivitas kesukaanku demi menemani ibu.

Sempat mengajak ibu untuk tinggal bersama di kota, tetapi ibu memilih kembali ke rumah dan memulai semua sendiri. 

Meski berat, aku akan tetap mendukung ibu. Apalagi, ditinggalkan oleh orang yang kita sayangi adalah proses terberat dalam hidup. Oleh karena itu, aku berusaha membuat ibu "bebas" dengan merasakan apapun rasa dan proses yang memang seharusnya dilalui.

Aku tak tahu apa yang harus dilakukan selain saling menguatkan, berpelukan, dan mendengarkan satu sama lain. Menurutku, hal tersebut adalah "waktu emas" bagi kami. 

Tak akan aku sia-siakan waktu bersama ibu, dengan keterbatasan yang aku punya, aku hanya ingin ibu bahagia. Saat ini perasaan dan kesehatan ibu adalah yang utama.

Tak akan aku biarkan ibu menjalani hal sulit sendirian.

Ada kalimat manis yang aku tulis saat ayah baruku meninggal. Saat itu aku menulis pesan kepada ibu. 

"Sabar ya, ma. InsyaAllah kuat. Masih banyak yang sayang dengan mama, kami semua ada di sini. Kita lewati masa sulit ini bareng-bareng ya, ma."

Itu sedikit cerita dari aku, intinya apapun yang terjadi pada kita sebaiknya diikhlaskan. Meski tidak mudah, tetapi keikhlasan akan datang dan memberi ketenangan. 

Mencari dukungan dari orang terdekat, terus bersama mereka, sembari mencintai diri sendiri, sangat penting dilakukan. ❤️

Apapun yang mereka katakan tentang aku, ibuku, adiku, aku hanya bisa berkata "prove them wrong".

Penguatku di masa sulit dengan banyak pilihan tak mudah, namun ternyata membahagiakan hati usai terlewati.

Jika pilihanmu amat sulit, nanti kamu akan bangga karena kamu pernah memilih dan melewati hal ini.

Dijawab Oleh

Admin Parapuan

Hai, Kawan Puan.

Terima kasih sudah bercerita di Ruang Cerita Parapuan <3

Kawan Puan, admin turut berduka cita atas kepergian ayah dan ayah baru yang pasti menyisakan duka mendalam untukmu.

Perundungan memang bisa datang dari siapa saja, tak terkecuali keluarga terdekat. Bukan hanya Kawan Puan, tetapi seleb Aron Ashab juga pernah mengalami perundungan dari kakak

Untuk mengatasinya, kamu hanya perlu memprioritaskan diri sendiri, ibu, dan adikmu. Perundungan yang mereka lakukan tidak perlu kamu toleransi, tetapi berkomunikasi dengan mereka untuk berhenti merundung bisa dilakukan. 

Saatnya fokus membuktikan kalau perkataan mereka salah. Semoga selalu ada kebaikan yang menghampiri Kawan Puan dan keluarga, ya. 

Peluk hangat dari MinPuan untuk Kawan Puan! ({})