Suami Melakukan Pekerjaan Domestik Dianggap Tidak Maskulin, Kok Bisa?

Putri Mayla - Kamis, 13 Mei 2021
Ilustrasi laki-laki mengerjakan tugas domestik dalam rumah tangga.
Ilustrasi laki-laki mengerjakan tugas domestik dalam rumah tangga. takasuu

Parapuan.co - Biasanya, pembagian tugas domestik dalam rumah tangga lebih banyak dikerjakan oleh perempuan atau istri.

Sedangkan laki-laki atau suami tidak mendapatkan kewajiban untuk melakukan tugas-tugas domestik.

Pada 16 - 19 April lalu, PARAPUAN melakukan riset bertajuk Pembagian Peran Domestik antara Suami dan Istri.

Riset tersebut menunjukkan dari 234 responden, 58,6 persen laki-laki menjadikan tugas domestik hanya sebagai tugas sampingan, sedangkan 3,2 persen laki-laki tidak mengerjakannya.

Sebaliknya, 17,7 persen perempuan menjadikan tugas domestik sebagai tugas utama mereka.

Selanjutnya, 234 responden dari laki-laki dan perempuan menunjukkan 42,3 persen responden mengatakan istri paling banyak melakukan pekerjaan domestik. 

Sebanyak 2,6 persennya yang berpendapat itu andil suami.

Baca Juga: Tak Malu Kerjakan Tugas Domestik, Suami Buktikan Rumah Tangga Setara adalah Soal Kerja Sama

Ida Ruwaida, Dosen Sosiologi dan Peneliti Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia mengatakan, peran dan tugas domestik yang dilakukan oleh suami dan istri berbeda tiap wilayah, budaya dan lingkungan.

"Pembagian peran, misalnya laki-laki sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah dan perempuan mengurus rumah tangga lebih dianggap kodrati," jelasnya pada PARAPUAN, Selasa (11/5/2021).

Ia menambahkan, “Peran-peran tersebut bukan bersifat alamiah, bukan bawaan lahir.”

Secara sosiologis, baik laki-laki dan perempuan (suami istri) bisa bertukar peran.

Karena peran merupakan ekspektasi sosial atau masyarakat.

Masyarakat yang mendefinisikannya kemudian mengontruksinya.

"Adanya pandemi, setidaknya mengondisikan masyarakat sadar bahwa 'rumah' merupakan wadah (sistem) yang mengelolanya demi kepentingan bersama dan memberi 'kedamaian' pada semua anggota keluarga tanpa terkecuali," papar Ida.

Baca Juga: Ingin Biasakan Anak Laki-Laki Kerjakan Tugas Domestik? Ini Saran Ahli

Sehingga, selama pandemi ini laki-laki dituntut juga untuk bisa mengelola potensinya dalam pengasuhan anak, yang selama ini dianggap sebagai peran atau tugas dan tanggung jawab ibu.

"Demikian juga dengan peran lainnya, bahkan peran majemuk atau multiple roles tidak hanya dilekatkan pada perempuan, dan menjadi beban perempuan itu sendiri," jelasnya.

Benarkah suami yang membantu pekerjaan domestik dianggap tidak maskulin?

Isu gender tidak lepas dari kontruksi sosial tentang laki-laki (maskulinitas) dan perempuan (femininitas).

"Di mana laki-laki dan perempuan tidak hanya dilihat berdasarkan aspek biologis, namun juga dikaitkan dengan aspek non-biologis," jelasnya.

Tuntunan masyarakat atas karakter, sifat, peran, bahkan relasi dari masing-masing jenis kelamin.

Baca Juga: Pembagian Peran dalam Keluarga, Haruskah Suami yang Selalu Mencari Nafkah?

"Laki-laki yang mengurus kerja kerja domestik dianggap tidak macho, tidak gagah, tidak aktif berkiprah di ranah publik, bahkan keluarganya sendiri pun malu," papar Ida.

Anggapan masyarakat seperti ini bisa membebani pria, meski bisa jadi suami suka juga melakukan pekerjaan domestik.

"Saya mentengarai bahwa di era masyarakat digital, kerja tidak lagi harus di kantor, tidak harus di luar rumah. Batasan kerja dan kondisi kerja mengalami pergeseran, dan ada banyak jenis pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah, bisa dilakukan laki laki dan perempuan," ungkapnya.

Ia menambahkan, "Kondisi work from home (WFH) di masa pandemi, secara sosiologis merupakan bentuk sosialiasi antisipatori dalam menyongsong peran-peran baru yang tidak lagi bisa didikotomikan." (*)

 

 

 

 

Sumber: Wawancara
Penulis:
Editor: Maharani Kusuma Daruwati