Malahayati, RA Kartini, Butet Manurung: Wanita Pejuang Indonesia

Shenny Fierdha - Rabu, 10 Februari 2021
Ilustrasi wanita pejuang.
Ilustrasi wanita pejuang. Getty Images via BBC Indonesia

Parapuan.co - Baik pria atau perempuan bisa sama-sama menjadi pejuang.

Kegigihan dan keberanian dalam memperjuangkan kebaikan bersama adalah modal utamanya.

Tak kalah dari kaum pria, Indonesia punya sederet perempuan yang berhasil mengukir nama dalam sejarah berkat perjuangan mereka untuk bumi nusantara.

Beberapa di antaranya adalah Malahayati, Raden Adjeng (R. A.) Kartini, dan Butet Manurung.

Baca Juga: Heboh Pernikahan Dini, Apa Faktor yang Memperparah Perkawinan Anak?

Kenali ketiga wanita pejuang ini dalam paragraf-paragraf berikut.

Keumalahayati (1550-1615)

Malahayati, Sosok Laksamana Laut Wanita Pertama di Dunia Asal Aceh yang Taklukkan Belanda dengan Kekuatan Pasukan Janda Perang
Malahayati, Sosok Laksamana Laut Wanita Pertama di Dunia Asal Aceh yang Taklukkan Belanda dengan Kekuatan Pasukan Janda Perang Kompas.com/Wikipedia

Malahayati, panggilan akrabnya, adalah laksamana laut perempuan pertama di dunia dan panglima perang Kesultanan Aceh.

Malahayati, bersama pasukannya yang berprajuritkan para janda berani mati bernama Inong Balee, dengan berani melawan armada angkatan laut Belanda dan Portugis yang menyambangi Serambi Mekah pada abad ke-16.

Malahayati bahkan membunuh kapten Belanda, Cornelis de Houtman, dalam sebuah duel pada tahun 1599.

Pedang de Houtman rupanya tidak sanggup menangkis tikaman rencong sang pahlawan perempuan.

R.A. Kartini (1879-1904)

Raden Adjeng Kartini bersama suaminya.
Raden Adjeng Kartini bersama suaminya. Wikimedia Commons

Darah birunya tidak menghentikan Kartini dari perjuangannya menerapkan kesetaraan gender di bumi pertiwi.

Semasa hidupnya, dia kerap menentang budaya yang kala itu meyakini bahwa perempuan hanyalah aktor pasif dalam berkehidupan yang kebebasannya terus dikekang.

Kartini mendamba emansipasi perempuan.

Baca Juga: Ini Tema Hari Perempuan Internasional 2021 dan Cara Mengikutinya

Pada 1903, dia menikahi Bupati Rembang Raden Adipati Joyodiningrat yang mendukung Kartini mendirikan sekolah wanita tak jauh dari kantor Kabupaten Rembang.

Selain sekolah, kontribusi Kartini yang sampai sekarang masih bisa dinikmati ialah buku Habis Gelap Terbitlah Terang yang diterbitkan oleh sahabat penanya di Belanda, J.H. Abendanon, pada 1911.

Saur Marlina “Butet” Manurung (1972-sekarang)

Butet Manurung saat memberikan pendidikan alternatif kepada generasi penerus Orang Rimba.
Butet Manurung saat memberikan pendidikan alternatif kepada generasi penerus Orang Rimba. Bayu Dwi Mardana

Butet Manurung adalah pendiri dan pengajar Sokola Rimba.

Lewat Sokola Rimbanya, Butet berhasil memberikan pendidikan kepada sekitar 10.000 anak dan dewasa Suku Anak Dalam di Hutan Bukit Duabelas, Jambi.

Butet menyadari pentingnya pendidikan bagi semua orang, tak terkecuali masyarakat rimba.

Namun, ini bukan perkara mudah.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Saur Marlina Manurung (@butet_manurung)

 

Dia pernah mendapat penolakan dari penduduk rimba yang enggan mengikuti pendidikan baca tulis dari Butet.

Perjuangannya untuk pendidikan orang rimba membuat Butet dianugerahi beragam penghargaan seperti penghargaan Magsaysay (2014) yang digadang-gadang sebagai penghargaan Nobelnya Asia.

Penghargaan Magsaysay sendiri diberikan untuk individu atau kelompok yang dinilai membawa perubahan untuk kebaikan masyarakat sekitar.

Selain itu, Butet juga pernah dianugerahi penghargaan Man and Biosphere dari UNESCO dan LIPI pada 2001, serta disebut sebagai salah satu pahlaman dalam majalah Time pada tahun 2004. (*)

Sumber: Kompas.com,tribunnews,kemdikbud.go.id,Bobo.id
Penulis:
Editor: Indira D. Saraswaty