Parapuan.co- Kamu pasti tidak asing dengan sosok Kombes Pol Dr. dr. Sumi Hastry Purwanti.
Wajahnya kerap tampil di televisi karena kerap terlibat dalam proses autopsi dan identifikasi korban berbagai kasus kriminal atau kecelakaan.
Ia bahkan pernah terlibat turun tangan dalam peristiwa bencana gempa bumi Yogyakarta (2006), bom Hotel JW Marriott, Jakarta (2009), identifikasi jenazah teroris Noordin M Top (2009), gempa bumi Padang, Sumatera Barat (2009), dan kecelakaan pesawat Sukhoi SSJ-100 di Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat (2012).
Dalam rangka Hari Polisi Wanita 2022, yuk kenali seperti apa sosok dokter Forensik Sumi Hastry melansir Parapuan.co!
Sosok Sumi Hastry
Sumi Hastry Purwanti mulai masuk dunia forensik saat terlibat dalam sebuah operasi di tempat kejadian pembunuhan pada 2000 lalu.
Saat itu, Sumi mendapat saran dari Kepala Satuan Reserse Kriminal Poltabes Semarang Ajun Komisaris Purwo Lelono untuk terjun ke dalam dunia forensik.
”Ketika mendapat saran itu, saya termotivasi karena keahlian forensik ketika itu belum dimiliki polwan lain. Saya adalah polwan pertama yang menjadi dokter forensik,” cerita Sumi.
Kemudian ia bergabung dalam berbagai operasi tim Identifikasi Korban Bencana atau Disaster Victim Identification (DVI) Polri.
Baca juga: Tertarik Jadi Polwan seperti Chae Soo Bin Rookie Cops? Ini 5 Hal yang Wajib Disiapkan
Perempuan berusia 51 tahun ini merupakan polwan (polisi wanita) pertama yang jadi dokter forensik di Indonesia.
Ia bercerita, tugas pertama yang ia dapatkan adalah mengidentifikasi korban bom Bali I pada 2002.
Setelah itu, Sumi ingin lebih mendalami dunia forensik dengan melanjutkan studi kedokteran forensik di Universitas Diponegoro pada 2002-2005.
Saat menyelesaikan proses studinya, Sumi juga pernah mendapat tugas mengidentifikasi korban bom Kedutaan Besar Australia di Jakarta (2004), kecelakaan pesawat Mandala di Medan (2005), dan bom Bali II (2005).
Tak hanya itu, Sumi juga terus menjalani pendidikan spesialisnya seperti mengikuti kursus DVI di Singapura pada 2006, kursus DNA di Malaysia (2007), dan kursus identifikasi luka ledakan di Perth, Australia (2011).
Perempuan kelahiran 23 Agustus 1970 ini juga pernah mengikuti sejumlah pertemuan ahli forensik dunia.
Sumi mengatakan jika profesi sebagai dokter forensik memerlukan ketelitian yang tinggi dan kesabaran dalam menentukan akurasi identitas jenazah.
”Saya lebih memilih tidak mengidentifikasi jenazah dibandingkan melakukan identifikasi yang salah,” ujar Sumi.
Sumi juga bercerita mengenai kendala yang kerap dihadapi dokter forensik Indonesia.
Baca juga: Profil Yekaterina, Pemimpin Perempuan yang Memajukan Rusia Abad ke-18
Kendala yang biasanya dihadapi Tim forensik DVI Indonesia terletak pada keinginan pihak keluarga atau pemerintah untuk segera mengetahui hasil identifikasi dalam waktu singkat.
"Ada dugaan, kami mempersulitlah. Padahal, semua membutuhkan proses agar hasil identifikasi kami dapat dipertanggungjawabkan," ujarnya.
Ketertarikan Sumi dalam dunia forensik semakin telihat jelas saat ia bekerja selama dua bulan penuh dalam tugas identifikasi korban pesawat AirAsia QZ 8501 pada 2015.
Kini Sumi menjabat sebagai kepala Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat II Prof. Awaloeddin Djamin Semarang.
Diketahui Sebelumnya pada 2019 Sumi pernah menjabat sebagai kepala Instalansi Forensik RS Bhayangkara Tk.I R. Said Sukanto.
(*)