Parapuan.co - Kawan Puan, apakah kamu setuju dengan branding perusahaan yang kekeluargaan?
Branding kekeluargaan tersebut sering kali dibuat agar para karyawan bisa menerapkan berbagai aspek kekeluargaan di lingkungan kerja, seperti rasa hormat, empati, dan rasa saling peduli.
Selain itu, branding perusahaan yang kekeluargaan juga terdengar menggiurkan.
Padahal sebenarnya, membuat branding demikian di tempat kerja memiliki lebih banyak dampak negatif daripada positifnya.
Salah satu efek toksik dari membuat branding keluarga di kantor adalah tidak adanya batasan yang jelas antara kehidupan pribadi dan profesional.
Baca Juga: Bisa Berbahaya, Ini Efek Menganggap Lingkungan Kerja sebagai Keluarga
Tak perlu membuat branding yang membawa-bawa kata ‘keluarga’, perusahaan tetap bisa menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan profesional dengan fokus pada aspek lainnya.
Seperti fokus pada tindakan dan struktur yang dapat membawa nilai dan mendukung karyawan agar terus berkembang.
Misalnya, dengan menganggap bahwa semua rekan kerja kamu adalah sebuah tim, dengan demikian terciptalah budaya kebersamaan, memiliki, nilai, dan tujuan bersama.
Dalam praktiknya perusahaan juga bisa menguraikan budaya berbasis kinerja yang diimbangi dengan beberapa hal di bawah ini, sebagaimana melansir Harvard Business Review.
1. Fokus pada kinerja dan tujuan
Ketika membangun tim dan orientasi karyawan baru, pastikan untuk memisahkan konsep keluarga dari percakapan seputar kinerja dan tujuan perusahaan.
Artinya, penting bagi perusahaan untuk memberi tahu karyawan apa saja yang diharapkan dari mereka agar berhasil di tempat kerja dan bahwa terdapat batasan jelas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Jadi, karyawan pun memiliki work-life balance yang jelas.
Apabila karyawan merasa batasannya sudah tak lagi jelas, perusahaan juga bisa mengatakan pada mereka untuk mengatakan secara langsung apa yang mereka rasakan.
Lebih lanjut, alih-alih fokus pada budaya kekeluargaan, pemimpin harus fokus mencapai tujuan perusahaan untuk membangun loyalitas dan keterlibatan karyawan.
Baca Juga: Apa Itu Meeting Overload? Simak Penjelasan dan Cara Mengatasinya Berikut
2. Buat batasan yang jelas
Semakin tidak jelas batasan, semakin banyak kesalahpahaman yang bisa terjadi di lingkungan kerja.
Perusahaan harus memastikan bahwa mereka memahami batasan antara waktu kerja dengan waktu di luar jam kerja.
Di sini, pemimpin bisa memberikan contoh dengan melakukan hal yang mereka sukai di luar jam kerja.
Jadi, ketika karyawan sedang libur atau cuti pun, mereka tak akan merasa bersalah lantaran harus meninggalkan pekerjaannya.
Kemudian, ketika karyawan merasa kewalahan dengan pekerjaannya dan mengalami penurunan kinerja, perusahaan bisa menawarkan sejumlah opsi yang bisa membuat mereka kembali maksimal.
Sebagai contoh, mereka diperkenankan untuk mengambil cuti atau perusahaan bisa membantunya untuk mengatur skala prioritas.
Terkait hubungan antara karyawan dan perusahaan, perusahaan perlu memahami dan realistis bahwa hubungan keduanya bukanlah keluarga.
Sebagian besar karyawan tak akan terus menempuh jalur kariernya di perusahaan yang sama dan itu adalah hal yang biasa.
Saat karyawan pada akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri, perusahaan perlu menghormati keputusannya dan memberikan apresiasi atas kontribusinya selama ini. (*)
Baca Juga: Jaga Hubungan Profesional dengan 5 Bahasa Cinta di Tempat Kerja Ini