Parapuan.co - Kawan Puan, harus diketahui bahwa tidak semua orang bisa menjalani program kehamilan (promil) untuk mendapatkan keturunan dengan lancar.
Untuk menjalani promil demi memiliki momongan, pasangan suami istri harus menyiapkan mental yang matang.
Baca Juga: Penting! Ini 5 Tips Memaksimalkan Olahraga dengan Mengatur Pola Makan
Sebab, dr. Ni Komang Yeni Dhana Sari, Sp.OG mengungkap mereka perempuan yang promil biasanya sudah menikah dalam waktu yang dirasa cukup lama.
Ketika dihubungi PARAPUAN pada Selasa (31/08/2021), selaku dokter spesialis kandungan dan kebidanan, dr. Yeni menyatakan ada beberapa hal yang memicu kesiapan mental perempuan yang menjalani promil.
Di mana menurutnya dari segi medis, orang yang mengalami infertilitas atau sulit hamil itu mereka yang berusia subur, tinggal bersama, dan berhubungan seks normal tanpa kontrasepsi.
Meski begitu, pasangan ini tak kunjung dikaruniai anak dalam kurun waktu 12 bulan.
Hal ini lah yang membuat pasangan disebut mengalami infertilitas atau sulit hamil.
Dikarenakan belum dikaruniai anak dan sudah lama tinggal bersama, maka pihak keluarga bahkan hingga tetangga mempertanyakan tentang kapan hamil.
Meski terkesan sederhana, harus Kawan Puan ketahui bahwa pasangan yang awalnya hanya santai saja, lama-kelamaan mulai berpikir kenapa tidak segera dikaruniai momongan.
"Nah itu yang mulai menjadikan dia resah, cemas gitu kemudian bertanya-tanya," tambahnya.
Seandainya hal ini terjadi pada pasangan yang saling terbuka, maka kedua orang tersebut akan mendiskusikan untuk segera ke dokter.
Akan tetapi, hal ini tidak terjadi pada pasangan yang kurang suportif alias tidak terbuka.
Hingga pada akhirnya saling menuduh satu sama lain, bahkan sering kali pihak laki-laki biasanya menyalahkan perempuan.
Baca Juga: 8 Jenis Alat Kontrasepsi yang Bisa Jadi Pilihan untuk Menunda Momongan
"Padahal ternyata memang selama pernikahan pastinya untuk bisa hamil its take two to tango (kedua belah pihak harus terlibat)," tegasnya.
dr. Yeni menegaskan bahwa dalam suatu hubungan masing-masing membawa pengaruh sebesar 50 persen.
"Ya kalau indungnya bagus, rahimnya bagus tapi spermanya jelek kan bisa juga. Kalau indung telurnya jelek juga enggak bisa," ucapnya.
Menurutnya, hal-hal seperti itu yang menyebabkan menjadi saling tuduh-tuduhan, diam, dan bisa menjadi stresor yang mungkin tidak dirasa dalam diri.
"Jadi kecemasan yang mungkin tertahan atau tidak terjawabkan gitu ya, nah anxiety-anxiety itu muncul yang menyebabkan konflik-konflik mulai di pasangan tersebut," tambahnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, dr. Yeni menyatakan alangkah baiknya segera dikonsultasikan ke dokter terlebih dahulu agar diketahui sumber penyebabnya.
Apabila ditemukan salah satu dari pasangan mengalami kelainan diterima saja.
"Yang paling penting adalah penerimaan atau acceptance," sarannya.
Pada proses penerimaan, akan ada fase penolakan yang biasanya berjalan dalam waktu dua minggu.
"Tapi kalau proses denial-nya lebih dari waktu itu, kemudian menimbulkan keresahan yang berlebihan sampai stres sampai berantem, maka itu sepertinya harus konseling khusus ke psikolog atau psikiater untuk menjawab kecemasan tersebut," katanya.
Baca Juga: Ketua IDI, Dokter Daeng Bongkar Dua Faktor agar Terhindar Covid-19
Padahal harus diketahui bahwa jika menerima terapi dengan baik, masalah penolakan bisa diselesaikan sesegera mungkin.
"Karena kita berpikir bahwa mungkin organnya tidak seberapa, tapi mentalnya doang yang mungkin kena," tuturnya.
Sebab, biasanya orang-orang yang sedang promil akan mendapat pendampingan psikolog atau psikiatri.
"Karena mental wellness atau mental health itu udah selalu menjadi dukungan utama. Prinsipnya kalau kedua belah pihak menerima, tidak saling menjatuhkan tidak saling menyalahkan rasanya proses itu akan jauh lebih baik," tutup dr. Yeni.
(*)