Parapuan.co - Baru-baru ini, ramai jadi topik perbincangan istilah male gaze dalam sebuah film.
Obrolan mengenai male gaze ini bermula dari sebuah film di Indonesia yang amat menonjolkan male gaze atau cara pandang laki-laki terhadap perempuan di dalam sebuah karya.
Di dunia perfilman, male gaze merupakan sebuah teori tentang representasi perempuan dalam perfilman.
Baca Juga: Mengenal Male Gaze, Cara Lensa Laki-Laki Memandang Perempuan dalam Film
Teori male gaze pun berkaitan erat dengan female gaze. Sebelum lebih jauh, mari kita kenali dahulu asal dari kedua teori berikut ini.
Teori male gaze dan female gaze pertama kali disebutkan oleh Laura Mulvey, seorang ahli teori film feminis asal Inggris.
Dalam esainya yang berjudul Visual Pleasure and Narrative Cinema pada tahun 1975, Laura mengungkapkan tentang bagaimana perempuan di objektifikasi secara seksual di media.
Teori male gaze ini merupakan kondisi di mana perempuan di media dilihat berdasarkan sudut pandang laki-laki.
Dari perspektif feminis, teori ini dilihat dalam tiga cara, yakni bagaimana laki-laki memandang perempuan, bagaimana perempuan memandang diri mereka sendiri, serta bagaimana perempuan memandang perempuan lain.
Dalam film, male gaze ini bisa dilihat dari pengambilan gambar dan sudut kamera yang dipakai untuk mengambil gambar.
Contoh male gaze di film adalah angle kamera, seperti bidikan close up sedang perempuan dari atas bahu laki-laki, angle yang terfokus pada tubuh perempuan, atau adegan yang menunjukkan seorang laki-laki sedang mengamati perempuan.
Dalam teori male gaze, perempuan digambarkan sebagai 'pembawa makna' dan bukan 'pembuat makna', yakni sebagai objek yang pasif.
Perempuan tidak ditempatkan dalam peran di mana mereka dapat mengendalikan sebuah adegan.
Dalam pandangan ini, justru laki-lakilah yang sebenarnya dilihat.
Ketidaksetaraan ini memaksakan gagasan kuno dan ketinggalan zaman tentang 'laki-laki yang melihat, dan perempuan harus dilihat'.
Baca Juga: Mengenal Female Gaze, Cara Lensa Perempuan Memandang Dunia dalam Film
Teori male gaze ini pun melahirkan diskursus lain tentang perempuan dalam film, yakni female gaze.
Berbeda dengan male gaze, female gaze memandang perempuan dari sudut pandang perempuan itu sendiri, yang justru dapat mempertanyakan tatanan patriarki.
Hal ini pun membuat pandangan perempuan lebih beragam dan memiliki kekhasannya tersendiri.
Menurut Iris Bey dalam The Female Gaze : A Revolution On Screen, perempuan tidak lagi digambarkan dengan cara vouyeurisme dan objektifikasi, melainkan sebuah subjek yang bergerak.
Adegan erotis pun digambarkan sebagai hal yang dilakukan dengan sadar dan tidak lagi menonjolkan bentuk tubuh perempuan agar memicu gairah.
Film dengan female gaze pun akan menimbulkan pengalaman senang yang lebih menonjolkan perkembangan emosional dan pengalaman yang dialami oleh perempuan. (*)