Parapuan.co - Menikahkan anak di bawah umur bisa memberikan dampak psikologis untuk perkembangan mental anak perempuan.
Peran menjadi istri dan ibu bisa membuat psikologis anak perempuan jadi lebih berat karena memerlukan adaptasi yang lebih banyak.
Sebab, saat anak perempuan menikah di usia dini, mereka memiliki pengalaman hidup yang kurang sehingga bisa memberikan dampak buruk bagi kesehatan mental si anak.
Meski punya dampak buruk bagi anak, sayangnya praktik pernikahan anak masih cukup tinggi terjadi di Indonesia.
Hal ini pun bisa dilihat dari kasus kasus Aisha Wedding yang diduga mempromosikan jasa wedding organizer untuk pernikahan anak usia 12-21 tahun.
Baca Juga: Ini 3 Langkah yang Perlu Kita Lakukan Saat Menjadi Korban Kekerasan Berbasis Gender Online
Menanggapi pernikahan anak ini, psikolog anak, Rose Mini Agoes Salim mengungkapkan bahwa pernikahan anak memiliki risiko masalah psikologis untuk anak.
Ini berkaitan dengan tugas perkembangan anak yang belum optimal.
“Misalnya anak perempuan ada yang baru menstruasi, baru kemudian masuk ke (fase) remaja awal. Tugas perkembangannya masih belum dikuasai. Adaptasinya masih banyak," jelas psikolog yang akrab disapa Bunda Romi ini kepada parapuan.
Menurutnya, saat anak perempuan memiliki anak, maka dia perlu adaptasi yang lebih banyak lagi.
"(Maka) itu kondisi kesehatan mentalnya juga sangat dikhawatirkan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Bunda Romi juga menjelaskan bahwa manusia melalui berbagai tahap perkembangan sepanjang hidupnya.
Baca Juga: Waspada Perubahan Perilaku Anak, Ciri-ciri Pelecehan Seksual pada Anak
Tak terkecuali anak umur 12 tahun yang masih termasuk kategori remaja awal dan harus menyesuaikan diri dengan perkembangan dirinya.
Bunda Romi tidak menutup kemungkinan bahwa individu yang menikah pada usia anak kemudian dapat mengalami depresi, penyalahgunaan zat terlarang, maupun masalah lainnya.
Hal ini dikarenakan anak belum punya banyak pengalaman hidup yang dapat menjadi bekal untuk menghadapi berbagai masalah kehidupan.
“Sehingga, kalau dia menghadapi masalah dalam keluarga, dalam hubungan suami istri, dia menanggapinya sulit. (Dia) tidak tahu jalan keluarnya karena pengalaman hidup yang masih terbatas dan situasi dirinya yang masih harus beradaptasi dengan banyak hal,” jelas Bunda Romi.
Anak pun akan mudah mengalami stres, karena tidak bisa menanggapi secara baik konflik maupun masalah yang ada dalam kehidupannya
Stres tersebut bisa berkembang menjadi depresi lantaran anak mengalami masalah bertubi-tubi karena menikah di usia anak, ditambah kapasitas kognitifnya yang juga kadang masih terbatas.
Baca Juga: Ragam Aktivitas untuk Mendukung Quality Time dengan Anak Selama WFH
Buntutnya, anak jadi merasa tidak nyaman dengan lingkungannya sehingga menarik diri atau bahkan minum minuman keras sebagai bentuk pelarian sesaat dari masalah.
Menurut Bunda Romi, tak hanya stres maupun depresi, dampak psikologis pernikahan anak juga bisa bermacam-macam dan berbeda antara satu orang dengan orang lain.
“Baik laki-laki maupun perempuan, ya. Maksud saya itu (pernikahan anak) tidak baik,” tegasnya. (*)