How You See Me
L***** - 13 Agustus 2022
Hallo kak... Saya perempuan yang baru menginjak usia 19 tahun di bulan Agustus ini. Saya anak pertama dari dua bersaudara. Adik saya cowok, sekarang kelas 6 SD. Saya terlahir sebagai anak strict parents di keluarga saya. Saya ingin menceritakan perihal masa terberat saya beberapa bulan yang lalu, serta keluh kesah saya sebagai anak strict parents di keluarga. Latar belakang keluarga saya adalah lulusan pondok pesantren. Di rumah, saya lebih dekat dengan Ibu saya. Karena Ayah tipe orang yang sedikit tempramen, cuek, keras kepala dan sangat disiplin, terlebih perihal waktu dan juga pendidikan. Saya jarang ngobrol dengan Ayah, bahkan untuk meminta uang satu rupiah pun saya tidak berani saking takut dan tidak dekatnya. Saya adalah seorang Penulis. Kesibukan saya sekarang yaitu menggeluti dunia Literasi dan Sastra. Saya bergabung dengan beberapa Penerbit sebagai Penanggung Jawab event yang diselenggarakan. Selain itu, saya juga sering mengikuti event menulis. Saya adalah anak Strict Parents, bisa dibilang tipe akut. Harusnya, sekarang saya melanjutkan pendidikan saya di Kampus impian saya setelah lulus SMA. Sayangnya, kegagalan SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi) memaksa saya untuk menunda langkah saya untuk melanjutkan kuliah. Setelah kegagalan itu, harusnya saya mengikuti jalur tes atau SBMPTN dan itulah salah satu jalan agar saya bisa melanjutkan pendidikan. Saya sekeluarga tidak mengharapkan lebih di jalur Mandiri, karena kita sadar perihal ekonomi. Tapi karena saat itu terkendala keuangan, dengan berat hati saya harus mengikhlaskan setahun waktu saya untuk melakukan aktivitas lain yang lebih bermanfaat selain kuliah. Sebetulnya, permasalahan ekonomi bukan suatu penghalang untuk melanjutkan pendidikan. Jika kita sudah meneguhkan tekad untuk terus melangkah, maka Tuhan pasti akan memberikan jalan. Prinsip itu yang selalu saya tanamkan. Bahkan ketika Ayah saya mengatakan ketidaksanggupannya, Ibu saya mencoba untuk meyakinkannya. Pada awal tahun 2022, Ayah saya memutuskan untuk membeli sepeda secara kredit. Sebulannya harus membayar sekitar 700 ribu untuk melunasi sepedanya selama kurang lebih tiga tahun-an. Kedatangan sepeda itulah yang membawa petaka bagi keberlangsungan hidup dan juga pendidikan saya. Menurut pendapat Ayah, sepeda Supra yang biasa dia pakai bekerja bertahun-tahun ini sudah tua dan rentan rusaknya, padahal masih bisa digunakan dengan baik. Maka dari itu, Dia memutuskan membeli sepeda Beat terbaru secara kredit. Sebelum Ayah saya membeli sepeda itu, Ibu saya berulang kali mengingatkan bahwa Anak pertamanya (saya) akan lulus dari SMA dan melanjutkan kuliahnya. Sehingga membutuhkan biaya yang lebih besar dari biasanya. Tapi, Ayah dan Ibu justru bertengkar hebat akibat perbedaan pendapat. Karena Ayah yang menggambil semua keputusan di rumah, dan dia tipe orang yang keras kepala. Jadi, apapun yang dia pikir benar harus terlaksana sesuai rencana. Akhirnya, Ibu memutuskan untuk diam. Saat itu, saya sudah memiliki firasat bahwa jika seandainya saya gagal SNMPTN yang notabenya pendaftarannya gratis, kemungkinan besar saya tidak akan melanjutkan mengikuti jalur SBMPTN yang berbayar, dengan alasan kredit sepeda. Pas hari H setelah pengumuman SNMPTN dan saya dinyatakan tidak lulus, malam harinya saya langsung rembukan dengan Ayah dan Ibu saya. Saya memberikan beberapa pilihan kepada orang tua saya. Pertama, jika mau lanjut di jalur berikutnya mungkin saya pindah kampus yang lebih dekat dan kemungkinan biayanya lebih terjangkau sekaligus di pondokkan, tapi jurusan yang sesuai dengan saya adalah Psikologi bukan tentang Sastra sesuai rencana. Karena sejak saya lulus SD, sebetulnya Ayah saya memaksa saya untuk mondok, tapi saya tidak mau. Pikiran saya saat itu asalkan saya di kuliahkan, mondok pun akan saya terima dengan lapang. Tapi, respon Ayah justru tidak enak dan semakin membuat mental saya down. "Akan jadi apa kamu, jika mengambil jurusan Psikologi? Ayah pengen kamu jadi Guru atau PNS", kalimat itulah yang akhirnya semakin meluruhkan semangat dan rasa percaya diri saya. Kedua, jika memang tidak melanjutkan kuliah, maka izinkan saya untuk bekerja selama setahun ini dan menggeluti bidang yang saya suka. Ayah dan Ibu saya adalah orang awam ketika berbicara perihal dunia kampus. Karena latar belakang pendidikan mereka lebih condong keagamaan (pondok pesantren) dan di keluarga besar saya hanya tante (adiknya Ibu) saya yang lulusan Sarjana. Orang tua saya nihil persoalan ilmu sekolah umum. Sehingga mereka mengganggap kuliah biayanya mahal. Saya tahu, pasti mahal. Tapi, berulang saya katakan saya akan mencari beasiswa dan bekerja selepas kuliah untuk meringankan beban orang tua saya. Tapi, perkataan saya seolah tidak dapat meyakinkan mereka. Bahkan ketika saya meminta tolong tante saya untuk menjelaskan soal kuliah, tetap tidak ada pergerakan dan cahaya terang untuk saya. Malam itu, Ayah saya mengatakan ketidaksanggupannya. Dan yah, dugaan saya benar bahwa alasannya adalah kredit sepeda. Posisi ruang tamu tempat kami berbicara gelap, tidak ada cahaya kecuali di teras rumah. Satu dua air mata saya menetes lagi, selepas menangis hebat karena ketidaklulusan saya di SNMPTN. Hening, saya kembali membuka suara dengan mengatakan, "Baik Ayah, tidak masalah jika saya harus menunda kuliah. Tapi, saya punya satu syarat untuk itu. Jika selama setahun kedepan ada yang berniat untuk meminang saya, tolong jangan diberikan dengan mudah sebelum saya menjadi seorang sarjana dan menggapai impian saya." Ayah mengiyakan, Ibu saya turut sedih dan mungkin terenyuh dengan kalimat terakhir yang saya katakan. Ketakutan saya dinikahkan di usia muda membuat saya enggan keluar rumah hingga sekarang. Bahkan masyarakat sekitar mengiranya saya mondok, nyatanya setiap hari saya pulang pergi dari rumah ke sekolah. Puncak dari kesadaran saya, mengapa Ayah saya yang notabenya ambis dalam pendidikan anaknya, tiba-tiba dengan mudah tidak menyetujui melanjutkan sekolah saya dengan alasan ekonomi keluarga. Ternyata memiliki alasan lain yang terselubung dalam hatinya. Dia terbiasa mengekang saya, menjaga saya dengan membatasi ruang gerak saya. Jika tiba-tiba anak perempuan yang diperlakukan strict parents olehnya merantau jauh, maka kecemasannya lebih besar dari hasratnya melihat saya menjadi seorang sarjana dengan pergi jauh di luar pengawasannya. Sejak kecil, orang tua saya selalu mentreatment saya seperti seorang 'Putri' yang sangat disayang orang tuanya. Bahkan saya pernah berada di posisi dimana, saya merasa bangga dan bersyukur telah dilahirkan di tengah-tengah mereka di saat banyak teman-teman saya yang terlantar dan broken home. Puncaknya, ketika saya duduk di bangku SMP akhir, saya merasa ruang gerak yang harusnya lebih luas malah semakin terbatas. Saya selalu dilarang ini itu ketika izin keluar main bersama teman. Jika ada teman cowok yang main ke rumah, orang tua saya terlebih Ayah saya selalu memberikan respon yang tidak enak. Padahal mereka hanya teman saya. Hingga saat itu, tidak ada teman yang berani mengajak saya keluar bahkan sudah tahu jika merencakan bermain dengan saya, jawaban saya akan tetap sama, TIDAK. Orang tua saya terlalu takut akan omongan tetangga. Padahal, tidak ada niatan buruk atau melakukan hal diluar batasan. Mereka hanya bertamu dan bermain dengan saya. Perlakuan seperti itu saya rasakan hingga detik ini. Bahkan ketika SMA saya bisa dibilang tidak memiliki teman, karena susah diajak keluar. Hanya satu dua orang yang kemungkinan memiliki nasib yang sama seperti saya, terlahir strict parent di keluarganya. Semasa tiga tahun di SMA, saya menghabiskan sebagian waktu saya dengan mengikuti berbagai event yang bersangkutan dengan seni, termasuk menulis. Dari situ lah, relasi saya semakin berkembang meski secara online. Dengan keseringan pulang sore karena harus latihan atau mengurusi persiaan perlombaan, bahkan maghrib baru sampai di rumah, saya menganggap kegiatan itu adalah cara saya bermain meskipun fisik dan mental saya merasa lelah. Saya sebagai anak perempuan pertama, harapan pertama keluarga saya, mental saya berulang kali tidak baik-baik saja. Tapi, saya dipaksa kuat oleh keadaan dan ribuan tuntutan dari lingkungan sekitar. Banyak orang yang menyayangkan saya tidak bisa melanjutkan kuliah. Terkadang saya ingin menyerah dan berhenti berjuang. Tiga tahun di SMA, saya sudah berusaha mempertahankan grafik nilai saya dan mengikuti berbagai event. Dengan memenangkan berbagai event, saya pikir pasti akan membantu saya untuk masuk di PTN (Perguruan Tinggi Negeri) impian saya lewat jalur SNMPTN, ternyata semua itu berujung luka. Tiga tahun terakhir ini, saya memiliki seorang cowok. Dia yang selalu mensuport saya, menjadi tempat saya berteduh, dia selalu ada untuk saya. Menemani saya dalam keadaan apapun. Awalnya hubungan kami berjalan secara diam-diam, karena dia memahami posisi saya. Dia selalu menerima keadaan saya dan tidak pernah mengeluh sedikit pun. Terkadang, untuk bertemu dengannya saya harus berbohong kepada orang tua saya. Karena saya tahu mereka tidak akan pernah mengijinkan saya keluar untuk bermain. Saya tahu batasan, tapi mereka seolah tidak memberikan kepercayaan itu kepada saya. Dari sinilah saya menyadari satu hal. Bahwa seorang anak juga membutuhkan ruang gerak yang bebas di bawah pengawasan orang tuanya. Bukan kekangan, terlebih mengatasnamakan rasa sayang. Melainkan pengontrolan diri pribadi seorang anak, tanpa menuntut banyak hal atau melarang semua pergerakan. Seorang anak juga memiliki kehidupan bukan melulu perihal keluarga, pendidikan dan masa depan. Melainkan ada banyak hal yang tiap ceritanya memiliki privasi tersendiri bagi seorang anak. Banyak sekali kemungkinan-kemungkinan buruk jika seorang anak terlahir strict parent d keluarganya. Salah satunya, dia akan menjadi pribadi yang pendiam, tertutup, introvert, sering berbohong jika melakukan aktivitas yang dirasa salah oleh orang tuanya bahkan bisa jadi depresi. Sejak saya sadar bahwa saya anak strict parents. Saya menanamkan dalam hati saya, bahwa kelak ketika saya menjadi orang tua anak saya tidak boleh merasakan apa yang sara rasa. Saya harus menjadi orang tua yang terus mengikuti perkembangan zaman tanpa memegang teguh adat istiadat yang menyakitkan. Bukan berlagak menentang usia yang sudah tidak muda, tapi saya harus berusaha memahami perbedaan zaman di masa saya sekarang dengan masa anak-anak saya nanti. Agar saya dapat dengan memudah memahaminya. Semoga sepenggal cerita saya ini dapat menginspirasi. Baik bagi orang tua, atau seorang anak di rumah. Jangan dicontoh hal buruknya, ambil hikmah dari sisi baiknya. Sekian, terima kasih🙏😌🤗

Dijawab Oleh

Admin Parapuan

Halo Kak :)

Saat membaca ceritamu, MinPuan de javu. Sebab, orang tua MinPuan juga termasuk strict parent. 

MinPuan paham rasanya bagaimana tidak diajak berbicara karena pulang di atas jam 6 sore. Peluk jauh untukmu, Kak! *HUGS* *HUGS*

Sebelumnya, terima kasih ya, Kak. Terima kasih karena sudah berjanji tidak akan mengulangi pola asuh orang tua kita di masa depan. 

Kalau MinPuan boleh bilang, kamu berjiwa besar dan hebat. Agar di masa depan, buah hatimu tak mengalami apa yang kamu alami, coba tonton video gentle parenting ala praktisi parenting, Mbak Halimah.

Di masa depan, semoga MinPuan bisa bertatap muka denganmu. Sekali lagi peluk untuk perempuan hebat! *HUGS*